Harap tenang, sedang ada Ujian Nasional. Demikian tertulis di kertas yang ditempal di kaca jendela pintu masuk sekolah. Tulisan ini memberikan isyarat kepada khalayak agar tidak memberikan suatu gangguan sedikitpun terhadap keberlangsungan ujian yang sedang berlangsung. Dan untuk saya sendiri sebagai generasi yang belum pernah mengalami sebuah hajatan yang bernama Ujian Nasional, juga memberikan kesan sakral. Maklum, ketika sekolah dari tahun 1970 hingga 1984 di bangku SD hingga SPG pemerintah belum punya ide tentang penerapan sebuah alat uji yang bersifat nasional seperti Ebtanas beberapa tahun lalu atau UN seperti sekarang ini.
Sakral?
Inilah pertanyaan yang saya sampaikan kepada putra saya yang telah berhasil menjalani UN dua pekan lalu. Pulang sekolah setelah hari pertama UN saya bertanya pada 'bujang' saya itu. Bagaimana soal UN-nya? Ya bisa terjawab semua Yah. Jawabnya.
Setleha pertanyaan seputar soal dan situasi ujian di sekolah, saya bertanya tentang contekan. Ada kiriman contekan Mas? Ada Yah. Menjelang berakhirnya waktu ujian contekan beredar. Jelasnya. Dapat dong kamu. Semua dapat. Kita bergantian. Lho, kalau memang contekan beredar di ruang ujian ketika ujian sedang berlangsung, untuk apa lagi kamu bersiap menghadapi ujian esok hari degan belajar keras? Pancing saya.
Kami biasa ngobrol dan diskusi dengannya seperti itu. Tentang apa saja, termasuk tentang apakah dia benar-benar menganggap UN ini sbagai tahapan hidup yang menjanjikan untuk masa depannya.
Ya, bocoran hanya sebagai pembanding. Aku ngak percaya 100%. Jelasnya lebih lanjut.
Tapi kan itu sudah merusak keyakinanmu atas kemampuanmu untuk mandiri dan percaya diri? Pancing saya lagi. Maksudnya, lanjut saya, kamu telah selesai dan merasa yakin dengan jawaban kamu. Tetapi masih terpancing untuk melihat contekan meski setelah itu tidak menggoyahkan keyakinan atas jawabanmu. Dan itu menjadi sia-sia buat kamu. Betul?
Sakral?
Inilah pertanyaan yang saya sampaikan kepada putra saya yang telah berhasil menjalani UN dua pekan lalu. Pulang sekolah setelah hari pertama UN saya bertanya pada 'bujang' saya itu. Bagaimana soal UN-nya? Ya bisa terjawab semua Yah. Jawabnya.
Setleha pertanyaan seputar soal dan situasi ujian di sekolah, saya bertanya tentang contekan. Ada kiriman contekan Mas? Ada Yah. Menjelang berakhirnya waktu ujian contekan beredar. Jelasnya. Dapat dong kamu. Semua dapat. Kita bergantian. Lho, kalau memang contekan beredar di ruang ujian ketika ujian sedang berlangsung, untuk apa lagi kamu bersiap menghadapi ujian esok hari degan belajar keras? Pancing saya.
Kami biasa ngobrol dan diskusi dengannya seperti itu. Tentang apa saja, termasuk tentang apakah dia benar-benar menganggap UN ini sbagai tahapan hidup yang menjanjikan untuk masa depannya.
Ya, bocoran hanya sebagai pembanding. Aku ngak percaya 100%. Jelasnya lebih lanjut.
Tapi kan itu sudah merusak keyakinanmu atas kemampuanmu untuk mandiri dan percaya diri? Pancing saya lagi. Maksudnya, lanjut saya, kamu telah selesai dan merasa yakin dengan jawaban kamu. Tetapi masih terpancing untuk melihat contekan meski setelah itu tidak menggoyahkan keyakinan atas jawabanmu. Dan itu menjadi sia-sia buat kamu. Betul?
No comments:
Post a Comment