Setelah berjalan kaki tidak kurang satu setengah kilometer di sepanjang Jalan Agus Salim untuk makan siang dengan menu Indonesia dan belanja batik cuci mata di dua toko batik yang terdapat di jalan itu, saya akhirnya melanjutkan perjalanan dengan menumpang becak untuk menuju museum batik yang ada di bunderan Jatayu, Pekalongan.
Terdapat beberapa bangunan tua atau bangunan peninggalan Belanda di perjalanan dari Agus Salim hingga lokasi museum. Bangunan tua ini menjadi tanda dan sekaligus saksi sejarah bahwa Kota Pekalongan adalah salah satu kota di Indonesia yang pernah dihuni bangsa Belanda. Termasuk diantaranya bangunan museum itu sendiri.
Tampak depan gedung Museum Batik Pekalongan. |
Beruntung, ketika sampai di museum, saya ikut serta menjadi bagian dari rombongan anak-anak sekolah. Mendapatkan penjelasan tentang berbagai rupa dan jenis motif batik serta filosofi yang terkandung di dalamnya masing-masing. Penjelasan yang saya yakin tidak menjadi perhatian anak-anak itu. Juga saya. Karena begitu dihadapan kepada display kain batik yang ada, saya langsung mengeluarkan kamera untuk merekam penjelasan-penjelasan dari setiap kain yang di-display.
Harus diakui pula bahwa peran museum batik yang ada di Kota Batik Pekalongan tersebut, meski dengan tiket masuk 5000 rupiah, merupakan peran luar biasa strategis bagi saya dan semua pengunjung. Selain pengetahuan tentang hal ihwal batik, sejarah batik, juga daya tarik bagi masyarakat untuk terus menjadikan batik sebagai bahan pakaian yang khas Indonesia.
Jakarta, 27.11.2017.
No comments:
Post a Comment