Jogja selepas magrib pada Sabtu, 26 Maret 2016 lalu diguyur hujan. Tidak lebat tetapi mengharuskan saya untuk mengurungkan niat pergi ke Pasar Colombo di Jakal Km 7 dengan mengendarai sepeda motor. Saya dan anak sulung menunggu mantu di emperan penginapan yang lokasinya tidak terlalu jauh dengan kos anak bungsu di dekap kampus UGM. Kami sedang menimbang-nimbang untuk memilih moda transportasi apa guna menuju lokasi makan malam kami. Karena ini menjadi pengalaman pertama untuk kedua anak laki-laki saya. Sajian khas yang dikenalkan oleh kakak ipar saya yang dulu lama tinggal di Pasturan yang lokasinya juga tidak terlalu jauh dari Pasar Colombo itu. Menu makan kami adalah bacem kepala kambing.
Yang belum pernah mencoba, saya merekomendasikan untuk membuktikannya. |
Waktu semakin malam hingga azan Isyak berkumandang. Aplikasi taksi lokal sudah selesai daya download. Dan mencobanya untuk melakukan order. Namun karena kesulitas dengan sinyal hp, maka akhirnya saya meminta supaya anak mantu memarkirkan R2nya dan kami sepakat untuk berjalan menuju arah jalan Kaliurang guna mencegat taksi yang kebetulan lewat.
Dan untuk beraga-jaga supaya kedatangan kami bertiga tidak sia-sia karena nanti kehabisan stok atau warung tutup, saya menghubungi via wa. Karena jawaban lama, maka saya juga menghubungi via telpon. Alhasil, wa belu juga terjawab dan telepon juga tidak mendapat jawaban yang sempurna. Akhirnya kami naik taksi dengan penuh doa semoga kedua anak saya itu datang dan mendapat pengalaman pertama yang mengesankan.
"Pasar Colombo km 7 Mas." Kata saya yang duduk di bangku depan kepada supir taksi Mobilio.
"Bukan Colombo Gejayan ya Mas. Colombo pasar di Jakal km 7." Kata saya lebih lanjut untuk memberi ketegasan. Takut salah alamat dan membuang waktu. Mengingat libur akhir pekan ini ada 3 hari yang membuat banyak pendatang untuk berwisata sepanjang jalan di kota Jogjakarta.
"Tarif minimal 25 ribu ya Pak." Kata supir taksi. Maksudnya kalaupun pakai argo dan tarif di argo kurang dari 25 ribu, misalnya 12 ribu, maka saya, penumpang harus membayar 25 ribu. Sama artinya kalau saya mendonasikan 13 ribu kepada armada yang saya tumpangi. Entah uang kelebihan itu untuk didonasikan kepada supirnya atau kepada korporasinya. Ini memang usaha jasa pasti untung!
Alhamdulillah, sampai di rumah makan, sekitar pukul 20.00, yang posisinya berada persis di pojok pertigaan setelah masuk ke pasar dari Jakal, masih tersedia bacem kikil kaki kambing dan jeroan, sementara bacem kepala kambing sudah habis. Mau apa lagi?
"Bagaimana pendapat kalian dengan makan bacem ini?"Tanya saya ketika kami selesai dan berjalan menuju Jakal. Saya ingin tahu apa pendapat anak-anak tentang jenis makanan yang kebetulan saya sukai itu.
"Enak dan Unik. Layak makan kepala kambingnya kalau ke Jogja lagi." Jawab anak saya. Saya ikut senang dengan jawaban itu. Artinya anak setuju dengan apa yang saya suka dan rekomendasikan.
Jakarta, 29 Maret 2016.