"Jangan pernah memandang saya rendah Bu. Saya pernah berada di posisi Ibu sebagai Kepala Sekolah." Begitu kata-kata seorang guru kepada saya ketika saya harus berhadapan dengannya setelah berburu keberadaan mereka di sekolah yang sulit dilacak. Dengan bantuan wakil saya untuk terus memantau melalui SMS dan telepon, tidak terkecuali telepon rumahnya, terlacak keberadaannya hingga akhirnya dia dapat hadir di ruangan saya dengan seorang wakil yang menemani saya sekaligus sebagai saksi.
"Saya paham sekali siapa Bapak. Pendidikan Bapak bagus. Sudah magister. Pengalaman Bapak juga bagus. Menjadi inspirator di pelatihan-pelatihan, bahkan level Nasional. Indonesia. Bapak juga pernah menduduki jabatan yang sekarang ini sedang saya duduki. Maka dengan begitu hebatnya Bapak, saya merasa sangat tidak terhormat untuk memanggil Bapak di ruangan ini guna menyampaikan Surat Teguran karena ketidakhadiran dengan tanpa berita apapun kepada kami, keterlambatan masuk sekolah dan juga keterlambatan masuk kelas untuk mengajar? Maafkan saya Pak. Terlalu sulit buat saya dan teman-teman Bapak di sekolah ini untuk menemuan figur baik dari Bapak." Kata-kata saya meluncur begitu deras. Satu hal yang saya sendiri hampir tidak sadar. Ini karena dorongan amarah dan tersinggung saya yang teranjur mengatasnamakan lembaga yang sekarang sedang diamanahkan kepada saya.
Sungguh sebuah paradogsal yang mengguncangkan jiwa saya sebagai guru, yang sejak awal hingga sekarang berada di sebuah lembaga pendidikan formal swasta. Sebuah paradigma yang sungguh tidak masuk di akal sehat saya. Yang sulit saya dapat terima bahwa pernyataan seperti itu lahir dari seorang yang pernah menisbatkan diri sebagai inspirator di kancah pelatihan.
Sebuah status yang justru bertolak belakang dengan realitas hidup di sekolah dan di mata peserta didik, juga teman-teman kolega yang menyaksikannya dalam menapaki hari-hari sebagai guru? Lalu apalagi yang dapat saya lakukan untuk membela teman yang satu ini dari masa depan yang diinginkannya jika memang faktanya berkata seperti itu? Itulah yang membuat saya begitu lancar dan mudahnya saat menemukan kata dan kalimat untuk segera saya sampaikan kepadanya.
"Bagaimana menurut Pak Agus apa yang sudah saya lakukan tersebut? Apakah merupakan sebuah ketidakhormatan saya kepada senior saya?" Kata Ibu Kepala Sekolah tersebut kepada saya seusai menuturkan apa yang telah dilakukannya pagi harinya.
"Bagus. Sebagai pemegang amanah Kepala sebuah lembaga, maka apa yang telah ibu lakukan adalah bagian dari menegakkan norma. Ibu telah melakukan sesuatu yang baik bagi masa depan lembaga." Kata saya yang masih syok mendengar kisahnya.
"Saya memohon, semoga Ibu selalu diberikan Allah Swt kekuatan untuk memegang amanah yang sedang Ibu pegang." Kata saya menutup perbincangan di telepon.
Jakarta, 16 April 2015.
No comments:
Post a Comment