"Pak Agus mau tanya, kalian ini kelas IX untuk angkatan berapa ya? Apa nama anggakatan kamu?" Begitu pertanyaan saya kepada dua orang siswa kelas IX siang itu ketika kami bertemu di koridor sekolah. Pertanyaan saya ini untuk memastikan angkatan yang setelah saya hitung dengan melihat tahun pelajaran adalah angkatan ke-10. Namun karena ragu, saya menanyakannya kepada yang bersangkutan.
"Kami angkatan kesepuluh Pak. Nama angkatan kami adalah touwtrekken. Touwtrekken itu Bahasa Belanda Pak. Artinya adalah tarik tabang." Demikian jelas seorang anak didik kami yang termasuk anak dengan keseriuasan akademik tinggi di sekolah. Bukti dari keseriusannya itu adalah masuk sekolah pilhan tanpa harus memperebutkan kursinya melalui tes masuk siswa baru.
"Lalu apa makna tarik tambang yang kalian sandang sebagai nama angkatan kalian? Apakah itu tidak sederhana untuk kalian?" Tanya saya lebih lanjut ingin tahu. Saya tentunya penasaran sekali bahwa tarik tambang dapat menjadi nama angkatan. Sementara nama-nama angkatan yang lain akan lebih filosofis? Padahal bukankah masing-masing angkatan itu ingin merasa angkatannya paling menarik dan kreatif?
"Ini karena saat guru mengadakan lomba tarik tambang di sebuah acara di sekolah, kelas sembilan mengambil peran sebagai kandidat yang justru bergurau. Kami berpura-pura menarik dengan kekuatan tangan yang luar biasa. Dan kepura-puraan kami itu mejadi bumerang untuk kami semua. Guru memberikan konsekuensi kepada kami untuk tidak menjadi bagian dari permainan. Dari peristiwa itulah kami menjadikan tarik tambang sebagai ikon angkatan. Kami abadikan untuk mengingatkan kami semua agar tidak pernah berpura-pura tetapi sebaliknya, harus mengambil peran yang serius. Itulah mengapa kami sebagai angkatan touwtrekken." Jelas anak itu kepada saya.
Apa yang dia ceritakan kepada saya, pernah pula saya dengar dari laporan guru di SMP akan peristiwa itu. Peristiwa yang sungguh membuat teman-teman guru kecewa berat akan ulah peserta didiknya yang duduk di kelas terakhir.
Dan sekarang, sepertinya teman-teman guru telah berubah sikap atas apa yang dilakukan anak-anak tersebut. Ini tidak lain karena perilaku mereka yang telah melahirkan kekecewaan para gurunya, mereka abadikan sebagai simbol kelas untuk mengambil peran yang positif. Saya juga termasuk bagian dari guru yang berbalik menjadi bahagia.
Jakarta, 28 April 2015.
No comments:
Post a Comment