Beberapa hari belakangan ini, kesibukan saya di kantor bertambah satu hal. Yaitu dengan masalah tikus yang ternyata berkeliaran di batang-batang besi yang ada di kantin sekolah kami yang ada di lantai dua. Dan memang hanya di lantai dua sekolah saja tikus-tikus mungil itu berkeliaran. Kadang keberadaan mereka saya dengar dari pergerakan mereka di loteng ruangan kerja saya.
Dan masalah ini segera saya selesaikan dengan berbagai cara bersama teman-teman pramubakti sekolah. Yaitu memangkas seluruh ranting pohon flamboyan dan pohon johar yang menjuntai hingga ke atap ruang kantin, menutup serapat mungkin saluran out door AC, dan yang paling terakhir adalah memberikan umpan yang telah diberikan bubuk racun. Namun permasalahan berikutnya adalah aroma bau yang menyengat ketika pagi hari kami baru saja membuka ruang kantor atau kelas.
Lalu apa Masalahnya?
Inilah yang menjadi konsen saya atas masalah yang saya hadapi. Yaitu pramubakti yang terlalu pintar beralasan untuk ikut terlibat dalam pemangkasan ranting pohon yang sudah terlanjur menjadi jembatan hewan yang kehadirannya tidak diundang tersebut. "Kita harus mengirim surat izin ke kantor kelurahan dulu Pak sebelum menebang pohon itu. Karena pohon-pohon itu tumbuh di areal umum?" Saya tidak mengiyakan apa yang menjadi usulan dan pendapatnya itu. Juga tidak mengatakan tidak. Saya hanya diam.
Beberapa menit setelah usulan dari pramubakti itu, saya langsung meminta bantuan orang lain untuk langsung mengekskusi pekerjaan. Dan saat itu juga saya ditemani dua orang pramubakti dari bagian sipil memangkas semua ranting yang telah menjuntai di atap super deck kantin sekolah.
Kelakuan saya ini sekaligus ingin menepis bahwa untuk melakukan perkerjaan tidak perlu banyak berbantah. Bukankah ranting-ranting itu jelas tampak dengan mata telanjang kita? Mengapa untuk mengerjakan harus banyak analisa?
Jakarta, 29 April 2015.
No comments:
Post a Comment