"Begitu hebatnya Bapak itu. Bagaimana tidak, dalam satu wadah air minum, beliau menawarkan kepada tamunya air minum rasa apa yang diinginkan. Lalu beliau tuang." Kata sahabat saya berapi-api menguraikan kisahnya di suatu sore kepada kami ketika sedang menikmati waktu luang dengan berdiskusi utara-selatan atau ngalor-ngidul kalau menurut istilah jawa. Dikatakan diskusi utara-selatan karena memang topik yang menjadi perbincangan kami bebas. Boleh apa saja. Kebetulan saja ketika sahabat saya sedang menyampaikan kisahnya itu, ia sedang menceritakan pengalamannya ketika hidup masih diusia muda.
"Lalu mereka yang ingin minum soda atau teh atau kopi terpenuhi?" Kata saya penuh heran dan sekaligus terkesima dengan kisah sahabat saya itu. Dan tentunya tidak kalah semangatnya si sahabat saya ini ketika memberikan lanjutan kisahnya.
"Benar. Terpenuhi." Jawabnya dengan yakin dan sekaligus juga rasa bangga. Ekspresi rasa itu begitu jelas terlihat diraut mukanya yang begitu sumringah dihiasi dengan senyum.
"Pak Agus tidak percaya dengan apa yang saya sampaikan ini?" Sahabat saya tiba-tiba mengalihkan perhatiannya kepada saya yang kebetulan juga sebagai saksi dalam penyampaian kisah tersebut.
"Percaya itu bisa terjadi. Tetapi pasti itu bukan karena buah dari sebuah kelurusan. Saya yakin pasti bahwa itu terjadi karena izin Allah. Dan juga karena ada pihak lain yang ikut serta dalam kejadian semacam itu." Kata saya biasa saja. Mungkin karena biasa saja itulah ketika mendengar apa yang disampaikan kepada kami kisah tersebut sehingga membuat sahabat saya membidik saya.
"Maksudnya?" Sahabat saya masih belum puas atas apa yang saya sampaikan. Dan itu saya sadari sebagai hal biasa saja. Karena teman lain yang ada dalam diskusi tersebut semua enjadi terkesima akan kompetensi si Bapak yang menjadi pusat kisah sahabat saya tersebut. Sedang saya tanggapannya datar.
"Karena dalam sejarah yang saya baca, tidak ada Nabi dan sahabat-sahabatnya memiliki kompetensi yang ditampilkan di ranah publik dengan begitu enteng sebagaimana cerita barusan. Pertanyaan saya kepada Anda; Siapa yang menjadi anutan dalam kita mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat nanti?" tanya saya kepada semua yang ada.
"Ya tentu dan pasti Nabi kitalah. Bukan Bapak yang ada di cerita itu?" sambut teman saya yang lain yang juga ada di dalam forum tersebut.
Diskusi masih berlanjut. Tapi ada hal yang membuat saya menjadi yakin bahwa hafalan dan pengetahuan tentang sesuatu yang dimiliki seseorang, kadang belum membuatnya menjadi pemikir kritis. Mungkin...
Jakarta, 26 Maret 2015.
No comments:
Post a Comment