Masalah kantin yang berkaitan dengan anak-anak adalah uang jajan yang berlebih. Terlalu banyak untuk dihabiskan dalam kurun waktu satu hari. Dan ini memang bukan menjadi masalah disemua anak, tetapi akan ada dua atau tiga anak dalam setiap tahun pelajaran. Ini masalah kompleks yang juga selalu kurang menjadi pelajaran bagi, utamanya, orangtua siswa.
Kompleks, kerena tidak hanya menjadikan anak tersebut akan memiliki keinginan untuk menghabiskan uangnya di kantin dengan cara memakan apa yang hanya diinginkan tanpa mempertimbangkan kebutuhan asupan gizi bagi kebutuhan tubuhnya. Sehingga akan menimbulkan efek samping karena kelebihan gizi bagi pertumbuhan fisiknya. Tetapi juga akan menjadi masalah psikologis yang tidak kalah berbahayanya bila tidak ada dialog dan kontrol dari orangtua terhadap penggunaan uang jajannya tersebut.
Belum lagi masalah sosial yang berupa rasa bangga diri bagi anak karena ia akan menjadi anak yang berbeda dibandingkan dengan anak lain di lingkungannya yang berawal dari uang jajannya yang berlebih dibanding yang lain. Dan ini juga akan melahirkan rasa iri di mata teman yang lemah psikisnya arena melihat ada temannya yang selalu kelebihan uang jajan.
Apa yang Terjadi?
Seperti apa yang saya alami sendiri suatu hari di kantin ketika bertugas menemani anak-anak di istirahat makan.
"Pak Agus saya jajanin Pak. Bapak mau makan apa?" Kata seorang anak dengan memegang dompet. Didalamnya saya melihat sekilas lembaran uang seratusan ribu. "Iya Pak Agus. Mau saja Pak. Dia kan uang jajannya banyak. Dia juga sering kok bayarin kami makan di kantin." Celetuk teman anak tersebut kepada saya.
Saya menolak. Meski untuk minum sekalipun. Ini karena kebiasaan saya ketika sudah menyantap sesuatu, maka saya mencoba untuk berhenti.
"Terimakasih. Maaf Pak Agus sudah makan sebelum kesini. Pak Agus ke kantin hanya ingin melihat bagaimana kalian berada di kantin." Jelas saya.
"Kalau begitu minum saja Pak." Katanya kepada saya. Anak itupun sudah bersiap dengan dompetnya yang ada di tangan kiri.
Dan diantara dialog saya dengan anak itu, saya berfikir tentang betapa mudahnya hidup yang anak itu sedang jalani. Dan justru pada titik inilah saya kawatir. Dialah anak yang baru ada di sekolah kami di semester dua. Semester pertamanya dijalani di sekolah lain. Dan karena alasan tidak betah, ia memilih sekolah kami.
Yang kedua, ternyata hasil akademis anak itu juga pas-pasan. Kelebihan dan kemudahan hidupnya jelas tidak berbanding lurus dengan daya juangnya untuk berprestasi disemua bidang di bangku sekolahnya. Justru, kelebihan dan kemudahannya menjadikan daya juang psikologisnya lemah dan rapuh serta sederhana.
"Saya kan sudah sukses Pak. Jadi tidak perlu berjuang keras." Ujarnya suatu kali ketika saya mengajaknya berdiskusi.
Saya tentunya takut dengan model anak muda seperti ini. Takut kalau insyafnya baru dia akan dapatkan ketika sumber utama kesuksesan keluarganya diambil Allah.
Jakarta, 21.02.2015.
No comments:
Post a Comment