Beberapa hari lalu datang kepada saya untuk meminta dicarikan berita tentang air laut yang surut hinggak 1 kilometer di suatu daerah di Provinsi Banten.
"Apa yang menarik dari berita itu?" Begitu pertama kali saya menanggapi apa yang yang disampaikan oleh seorang teman tersebut.
" Ingin tahu saja Pak. Mengapa ada ada kejadian seperti itu. Apa ada hubungannya dengan kondisi Provinsi Banten sekarang ini." Kata teman itu. Mesi demikian, saya tetap tidak mau bergeming dengan apa yang disampaikannya untuk buru-buru membuka link berita di internet. Ini karena saya berkeyakinan bahwa jika berita itu benar, pastilah sudah menjadi head line koran. Toh tidak?
Beberapa hari kemudian memang saya membaca berita tersebut. Namun bukan fenomena alam sebagaimana yang saya persepsikan ketika kali pertama mendengar dari cerita teman tersebut. Tetapi justru koreksi atas apa yang disampaikan oleh pewarta dan dimuat lewat medianya.
Koreksi bahwa pewarta tidak membuat kesimpulan yang benar-benar berdasarkan fakta apa yang terjadi di lapangan. Mungkin karena mencari sensasi. Seperti apa yang disampaikan dalam media on line ini, saya kutip dari http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/02/08/n0nrbu-pengunjung-hotel-di-anyer-menurun-drastis-karena-isu-tsunami. Dijelaskan bahwa: "Kasapolair Polres Serang AKP Gusti Nyoman Sudarsana, meminta media agar mencari berita seakurat mungkin. "Crosscheck kebenarannya," katanya.
Saya berpikir bahwa, ternyata tidak saja kepada SMS gelap saja kita harus waspada, dari berita tersebut, saya belajar juga untuk tidak mengambil apa yang disampaikannya sebagai yang memang benar terjadi. Luar biasa. Sikap ini jika tidak ingin terkecoh oleh berita.
Jakarta, 10 Februari 2014.
No comments:
Post a Comment