Hari lebaran atau Idul Fitri tahun ini bertepatan dengan hari Minggu, tanggal 19 Agustus 2012 yang berdekatan dengan hari kemerdekaan Republik yang kita cintai ini yang ke-67 tahun, yang jatuh pada hari Jumat. Untuk itulah hampir semua kantor memberikan hari cuti bersama untuk seluruh pegawainya dua hari atau beberapa kantor swasta justru meliburkan hingga 4 hari kerja potong cuti tahunan.
Lalu apa pengaruh libur lebaran dengan cuti bersama bagi saya yang bergerak di lapangan pendidikan? Tidak terlalu berpengaruh. Karena kami, para guru, pada perayaan hari lebaran akan mengikuti liburnya anak-anak didik kami, yang akan masuk kembali ke sekolah pada Selasa tanggal 28 Agustus, atau bertepatan dengan tanggal 10 Syawal 1433 H. Artinya, kami sebagai guru masih memiliki hari libur yang lebih panjang dari para karyawan yang bekerja dan berprofesi di luar pendidikan/ guru.
Namun meski saya menjadi bagian dari guru, yang berarti memiliki hari libur lebih di banding teman-teman lain, tetapi seperti hari libur lebaran tahun sebelumnya, saya memastikan untuk tidak mudik dan berlebaran dengan Mamak, orangtua saya yang, alhamdulillah, masih sehat wal’afiat, di kampung halaman saya di Jawa Tengah. Ini tentu mengulangi kesepian Mamak saya di perayaan hari lebaran di kampung tanpa kedatangan ketiga anak-anak dengan cucu-cucunya yang ada di Jakarta. Dan untuk menutup kesepian orangtua dengan lima anak dan delapan cucu itu, berulang kali saya berbicara dan bercengkerama lewat telepon.
Ada beberapa alasan mengapa saya memutuskan untuk tidak pulang kampung atau mudik pada libur lebaran tahun ini. Pertama, kepergian anak bontot saya untuk turut serta dalam rombongan Misi Kesenian Indonesia ke kota; Zurich dan Hamburg pada ttanggal 04 Syawal atau tanggal 22 Agustus. Artinya, jika saya harus juga berangkat ke kampung, maka perjalanan saya baru bisa dimulai pada Kamis, 23 Agustus. Artinya lagi, waktu yang tersisa bagi saya hanya lima hari libur. Itu waktu yang sangat pendek bagi saya untuk sebuah perjalanan darat menggunakan kendaraan. Alasan kedua, adalah keinginan anak kedua saya yang selama ini tinggal di Yogyakarta, yang semestinya dapat bersama saya ketika ia kembali ke kota dimana ia tinggal selama ini, untuk kembali ke Yogyakarta paling cepat pada Senin, 27 Agustus. Lengkap sekali bukan alasan-alasan untuk saya agar tidak mudik pada liburan lebaran tahun ini?
Meski fisik tidak juga mudik, perhatian akan perjuangan teman-teman saya yang melakukan mudik dengan hambatan kesulitan untuk mendapatkan tiket kendaraan atau terjebak kemacetan di jalan raya, tidak begitu mudah untuk diabaikan. Beberapa teman diantaranya mengabarkan kepada saya tentang perkembangan posisi dimana ia bersama keluarga waktu demi waktu. Juga bagaimana teman yang lain yang mengirimkan gambar kampung halamannya, yang kebetulan bertetangga dengan kampung halaman saya melalui portal Group yang ada di BB. Atau juga menyalakan siaran langsung pantauan mudik dari sebuah stasiun radio non stop 24 jam. Juga mengikuti secara periodik akun yang ada di twitter.
Apa kepentingan saya akan kegiatan mudik yang dilakukan teman-teman atau para penduduk yang melakukan ritual pulang kampung? Ya, saya hanya ingin tetap merasakan atmosfer mudik, atau setidaknya ingin secara terus menerus menangkap vibrasi keriangan para pemudik. Dan itu, cukuplah bagi saya untuk membunuh rindu kepada orangtua, saudara, teman-teman sekolah yang berencana mengadakan reuni di kampung halaman.
Jakarta, 19 Agustus 2012/ 01 Syawal 1433 H.
No comments:
Post a Comment