Ada pertanyaan dari salah satu orangtua siswa kepada guru di sekolah, berkenaan dengan kegiatan pembelajaran tematik. Yaitu pembelajaran dengan belajar berbasis proyek, yang akan mengeksplorasi satu tema dari berbagai mata pelajaran yag ada di kelas tersebut dalam durasi waktu tertentu.
Penentuan tema dilakukan oleh guru dalam diskusi bersama, berdasarkan kepada KD dan SK dari beberapa mata pelajaran yang ada, dalam level kelas. Dari tema itulah nanti setiap mata pelajaran akan memperoleh porsi masing-masing sebagai bahan yang harus dieksplorasi. Misalnya saja, pada sebuah kelas memilih tema Legenda.
Maka jika ada pertanyaan, dari siapapun juga, bisa pertanyaan dari orangtua, dari masyarakat lain, atau bahkan dari guru, setelah anaknya belajar, adalah:
- Ada berapa soal yang keluar dalam ulangan atau dalam Ujian Nasional (UN) nanti dari kegiatan belajar seperti ini? Mengapa siswa tidak belajar meguasai materi pelajaran yang akan masuk dalam soal ulangan atau UN saja agar mereka menjadi siap?
- Kalau yang keluar hanya 1 atau 2 soal saja, menurut saya kegiatan ini hanya buang-buang waktu?
Menurut saya, dari pertanyaan-pertanyaan itu. Atau mungkin sekali pertanyaan yang lain yang bernada argumentasi sejinis itu, maka berikut ini adalah hikmah yang dapat kita ambil sebagai kesimpulan awal. Hikmah itu adalah sebagai berikut:
Pertama; Tentang paradigma belajar. Sebagian kita memahami bahwa belajar hanyalah ketika siswa membuka buku pelajaran sekolah yang berupa buku paket atau buku sumber atau buku pegangan siswa. Maka ketika siswa sedang membaca buku cerita, membaca fiksi, membaca ensiklopedia, membaca kamus, mambaca majalah remaja atau bahkan mengisi TTS di surat kabar, searching tentang sesuatu sebagai langkah untuk mampu memberikan jawaban kepadanya, maka siswa tidak sedang belajar?
Bahwa belajar dimaknai ketika siswa mendapat tugas dari guru berupa pekerjaan rumah. Maka ketika siswa sedang tidak diberikan pekerjaan rumah maka berarti siswa tidak belajar. Maka sekolah yang gurunya selalu memberikan banyak pekerjaan rumah kepada siswanya adalah sekolah yang baik karena menuntut siswanya untuk belajar terus menerus. Dan sebaliknya sekolah yang tidak pernah ada pekerjaan rumah adalah bentuk sekolah jelek?
Bahwa belajar berarti siswa duduk manis di bangku kelasnya dan memperhatikan gurunya sedang menjelaskan materi pelajaran saja. Maka ketika siswa sedang bermain drama setelah mempelajari legenda Lutung Kasarung siswa diminta menuliskan kembali cerita tersebut dalam bentuk teks drama yang kemudian harus didramatisasikan dalam kelompok bukan sebagai kegiatan belajar? Jika ini yang menjadi paradigm kita tentang belajar, maka terlalu sempit makna itu. Hal ini pula yang menjadi argumentasi mengapa proses belajar tidak atau kurang bermakna.
Bagi saya, belajar adalah seluruh aktivitas yang siswa lakukan kapan saja dan dimana saja dan dengan siapa saja yang kemudian ada proses pengambilan hikmah setelah kegiatan tersebut dilakukannya.
Proses belajar di sekolah adalah seluruh aktivitas siswa dengan lingkungannya yang ada di sekolah, dari kehadiran siswa di pagi hari hingga kembali ke rumah. Bahkan hingga di rumahpun proses tuntutan belajar tersebut tetap dan terus berjalan.
Kedua, tentang paradigma hasil belajar. Bahwa nilai ulangan siswa atau Ujian Nasional atau UN yang terdiri dari 3 mata pelajaran di SD atau 4 mata pelajaran di SMP atau 6 mata pelajaran di tingkat SMA, semestinya dilihat sebagai salah satu hasil belajar. Dan bukan satu-satunya hasil belajar.
Sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Benjamin s Bloom, terdapat 3 ranah hasil belajar. Yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomotorik. Ranah kognitif adalah ranah yang menuntut kepandaian akademik. Ranah afektif adalah ranah sikap. Dan ranah psikomotorik adalah ranah pisik.
Dan UAS atau UN hanya mengukur hasil belajar pada ranah kognitif. Itupun tidak mengukur 6 aspek yang terdapat dalam ranah tersebut. Yang diukur barulah pada tiga aspek kognitif, yaitu aspek mengingat, aspek memahami dan aspek aplikasi. Sedang tiga aspek yang tidak diukur adalah aspek aspek analisa, aspek evaluasi dan aspek mencipta. Dimana ketiga aspek terakhir masuk dalam tataran berpikir tingkat dalam.
Untuk itulah maka ketika menjadikan UAS atau UN sebagai satu-satunya tolok ukur keberhasilan siswa atau sekolah, berarti kita teah terjerembab pada fatamorgana.
Ketiga, Tentang belajar yang holistik. Dengan melihat bahwa terdapat tiga ranah belajar sebagaimana yang dikemukakan oleh tokoh pendidikan Bloom tersebut, maka seharusnyalah kita memaknai bahwa mendidik adalah membuat siswa menjadi cerdas kognitif atau cerdas akademik, cerdas afektif atau cerdas afeksi dan cerdas psikomotorik. Inilah hasil belajar holistik.
Belajar yang holistik tidak melihat bahwa UAS/UN tidak penting. Ia sebagai salah satu instrumen keberhasilan dalam belajar tetap dipandang sebagai proses yang penting. Tetapi pengembangan afektif dan psikomotorik tetap tidak dilupakan. Bentuknya pengembangan pada ranah tersebut salah satunya adalah melalui kegiatan drama, pertujukan kelas, kegiatan luar ruang kelas, eksplorasi lingkungan hidup siswa, membuat laporan membaca, menyusun proposal kegiatan, dan lain-lain.
Itulah makna belajar menurut saya sebagai guru.
Jakarta, 6 Desember 2011.
No comments:
Post a Comment