Sedikit konyol judul artikel saya ini. Apa menariknya pembayaran uang sekolah menjadi sebuah artikel? Apa pula prioritas yang dimaksudkan? Apakah tulisan ini nantinya tidak sekedar menjadi curahan hati? Atau mungkin saya memiliki maksud dan tujuan tersembunyi dari apa yang saya kemukakan ini? Semua bisa benar. Namun justru dengan tulisan ini saya ingin mengajak kita smua untuk melihat betapa dunia kita telah bergesar. Tentunya bergeser ke arah yang lebih sadar, lebih pintar, lebih dewasa, dan paling pas bergesar ke yang lebih baik. Amin.
Lebih Sadar
Minimal inilah yang saya paling rasakan dengan kelebihan tersebut. Bahwa masyarakat sekarang ini semakin sadar aka haknya terhadap kesempatan pendidikan yang diselenggarakan pemerintah. Dan pemerintahpun dengan sekuat tenaga, saya yakin sekali bagaimana kuatnya usaha pemerintah itu, setidaknya bagaimana anggaran pendidikan yang memenuhi kuota 20 % dari angaran pemerintah setiap tahunnya, telah memberikan kebebasan biaya untuk siswa di pendidikan tingkat dasar. Dan bahkan di beberapa daerah, dengan kekuatan APBD dan kemauan politik penguasa daerahnya kebebasan biaya pendidikan tidak saja di tingkat pendidikan dasar, tetapi hingga pendidikan menengah.
Kesadaran akan kesempatan pendidikan ini menggejala di kota-kota besar utamanya. Hingga melahirkan sikap kritis masyarakat untuk ikut mengawasi pembiayaan pendidikan yang terjadi di sekolah putra-putrinya. Kesadaran ini juga membuat masyarakat pengemban lembaga pendidikan atau juga penyelenggarakan lembaga pendidikan untuk benar-benar mahir dan transparan dalam mengelola dana masyarakat tersebut.
Sekolah Swasta
Bagaimana dengan lembaga pendidikan swasta yang sumber pendanaan dari semua keberlangsungan lembaga tersebut kadang 100 persennya adalah dana dari masyarakat? Meski berbeda cara pandangnya, menurut saya, dalam tataran konseptualnya nyaris mirip. Perbedaan cara pandang misalnya adalah sumber dana. Sekolah negeri menggunakan sumber dana dari APBD dan APBN, dan sangat boleh jadi ada pula beberapa rupiahnya merupakan sumber dana dari masyarakat. Sedang pada sekolah swasta, nyaris 100 persen sumber dana dari masyarakat. Dan karenanya, maka dan yang keluar saat kali pertama sekolah itu berdiri, merupakan talangan dari owner sekolah bersangkutan. Atau, meski dana tersebut adalah dana dari pihak perbankan, maka selalu ada pribadi-pribadi yang menjadi penjamin bagi keberadaan dana tersebut. Juga pada pengelolaan hingga kepada pelaporannya.
Lalu apa kaitannya dengan membayar uang sekolah sebagai prioritas? Adakah kaitannya dengan apa yang telah saya kemukakan di atas?
Disinilah saya bermaksud mengaitkannya. Dimana kala kita bersekolah dahulu, tanpa melihat apakah sekolah negeri atau sekolah swasta, karena zaman saya dahulu sekolah di tahun 1980-an, lembaga penyelenggara sekolah tersebut sama-sama mengeluarkan biaya pendidikan. Maka dengan demikian, terdapat kaitannya dengan zaman sekarang ini, jika putra-putri kita bersekolah di sekolah yang mengharuskan kita memberikan uang pembayaran sekolah. Dan disinilah saya ingin memperbandingkan cara pandang kita, atau setidaknya orangtua saya dengan sebagian masyarakat kita sekarang dalam melihat dana keluarga yang diperuntukkan sebagai pembayaran uang sekolah.
Dalam kaca mata orangtua saya yang petani, yang hidup di salah satu desa di kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, mengalokasikan pendapatannya untuk membayar uang sekolah anak-anaknya adalah prioritas keluarga. Gambaran ini sangat dapat saya lihat dan alami pada waktu itu. Misalnya jika orangtua saya memperoleh rezki dari panen buah kelapa yang satu butirnya seharga Rp 50,00 pada waktu itu (ongkos naik angkutan umum saya Rp. 15,00 sekai jalan), maka bagian paling pertama yang mereka sisihkan dari penghasilannya itu adalah untuk kami, untuk membayar uang sekolah. Tentang beras, kami memilikinya tanpa harus membeli. Juga tentang sayur yag dimasak mamak untuk menemani nasi.
Maka alokasi untuk membeli pakaian, sebagai pengganti pakaian seragam putih kami yang kadang telah dihingapi jamur keringat, tidak menjadi prioritas bulanan kami. Apa lagi untuk hal-hal yang berada diluar kebutuhan primer lainnya. Atau barangkali karena keadaan ekonomi yang mepet maka kemudian orangtua saya bersikap sedemikian rupa terhadap alokasi anggaran rumah tangganya? Allahua'lam.
Lalu bagaimana dengan sebagian masyarakat sekarang ini? Terutama sebagian kecil masyarakat di sekolah yang memiliki track record sebagai pembayar uang sekolah yang seret? Ya kadang memprihatinkan. Karena ada diantara mereka yang saya lihat dengan mata kepala saya sendiri, menurunkan putra-putrinya di halaman sekolah dari kendaraan Alpardnya, tetapi ketika saya diminta untuk menandatangani surat konfirmasi tentang keterlambatan pembayaran uang sekolah, maka saya menemukan salah satunya ada nama anak tersebut? Mungkinkah harus terlambat membayar uang sekolah hingga berbulan-bulan sementara pergi pulang sekolah dengan kendaraan Alpard dan supir pribadi?
Atau kisah teman saya yang memergoki salah seorang yang juga terlambat membayar uang sekolah anaknya di tempat minum kopi mahal di sebuah mall yang ramai di samping jalan tol JORR di wilayah Cilandak? Atau kisah teman saya yang lain yang sama-sama antri untuk pemesanan safety box di sebuah bank swasta yang ternyata adalah yang anaknya masih belum memperoleh surat mengikuti ujian akhir semester di sekolahnya? Allahua'lam.
Martabat dan Harga Diri
Namun dari sepenggal kisah ini, saya belajar bagaimana tetap meniru apa yang orangtua saya lakukan ketika mengalokasikan uang pendapatannya untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya tetap sebagai hal yang utama dan pertama. Sebagai sesuatu yang prioritas dilain kebutuhan keluarga atau pribadi yang lainnya. Karena saya berpendapat bahwa, hanya dengan cara-cara terhormat saja maka martabat dan harga diri kita di mata masyarakat dapat kita dapatkan. Semoga. Amin.
Jakarta, 20-21 Desember 2011.
No comments:
Post a Comment