Dalam sebuah catatan pojoknya, Kompas, 15 Desember 2011, dituliskan: Pelatih bola Rahmad Darmawan mundur karena merasa gagal. Contoh tuh, gagal bukannya malah bercokol dan mencalonkan diri!
Saat memegang komputer ini, saya berpikir dengan apa yang dikemukakan oleh catatan pojok tersebut. Sebuah pertanyaan lahir dalam pikiran saya. Benarkan hanya pemimpin bangsa yang harus belajar dari kasusnya RD? Bukankah kita semua harus belajar dari peristiwa langka ini? Bukankah kita semua adalah para pemimpin di lahannya masing-masing? Mungkin saya adalah pemimpin di sekolah saya. Anda mungkin menjadi pemimpin di kelas Anda sebagai guru kelas atau guru wali kelas. Mungkin juga Anda menjadi pemimpin di lahan yang lebih besar, misalnya sebagai kepala sekolah. Itu semua jika kita mengambil contoh di dunia atau di lembaga pendidikan. Tetapi pendeknya, kita semua adalah pemimpin dengan kapasitas yang berbeda-beda. Dan pendeknya, setiap pemimpin adalah pemegang amanah pengelolaan bagi tanggungjawabnya. Dan itu berarti pula bahwa semua hal ikhwal berkenaan dengan bagian yang dipimpinnya menjadi tanggungjawabnya sepenuhnya.
Mengundurkan Diri
Dalam sebuah rapat yayasan yag pernah saya ikuti, ada seorang pemimpin yang memberikan kalimat pembukaan sebelum rapat dimulai. Pemimpin yang kebetulan ustad ini mengatakan: Kita sebagai pemegang amanah di yayasan ini, adalah pemimpin bagi unit dan bagian kita masing-masing. Dan dengan kepemimpinan itu, ada sisi kekuasaan. Oleh karenanya, mari kita selalu introspeksi diri kita masing-masing. Jangan pernah ada keputusan yang kita ambil dari konsekuensi sebagai pemimpin yang berkuasa ini, yang membuat kita menjadi dzalim. Untuk itu, saya berpesan agar kita semua mengambil keputusan dari kaca mata yang holistik. Holistik bagi AD dan ART yang menjadi peta kita sebagai penguasa di yayasan ini. Juga holistik bagi kebermanfaatan bagi semua yang ada dalam wadah yayasan kita ini.
Kalimat pembuka tersebut, mengingatkan kita semua untuk benar-benar bekerja sesuai dengan amanah yang telah ditentukan. Bagi saya pribadi, nasehat tersebut, dan juga apa yang ditulis oleh pojok Kompas tanggal 15 Desember 2011 tentang RD, menjadi bagian yang integral pada saat saya melihat 'kedalam'. Tentunya yang berkenaan dengan amanah yang saya pegang. Ini pulalah yang menggerakkan saya menuliskan refleksi ini, agar menjadi pertanda bagi perjalanan hidup saya, dan juga perjalanan karier saya di dunia pendidikan. Karena saya berkeyakinan bahwa, tidak ada seorangpun mendapatkan hasil yang sempurna dalam sebuah perjalanan kehidupan. Dan yang sempurna adalah proses dan usaha kita untuk meraih kesempurnaan itu. Dan kesempurnaan itu adalah khusnul khatimah. Itu yang menjadi keyakinan saya.
Lalu apa kaitan dengan dua hal tersebut di atas? Kaitan yang paling mendalam adalah, bahwa apa yang dilakukan oleh RD tersebut benar-benar menjadi pemicu saya untuk melihat jejak ikhtiar saya selama mengemban amanah keguaruan sya selama ini. Dan ini benar-benar memperlihatkan kepada saya pribadi untuk benar-benar berusaha lebih keras dalam menunaikan tugas itu. Meski saya tidak berani sama sekali untuk mengatakan bahwa apa yang saya lakukan dalam mengemban amanah itu positif sekali atau sekedar positf saja? Tetapi yang paling urgent dari semua itu adalah agar saya lebih mampu untuk mengatur langkah yang jauh lebih terukur menuju kebaikan.
Jika demikian adanya, adakah niatan buat saya untuk mengikuti jejak RD dengan mengundurkan diri? Untuk di lembaga yang terakhir diamanahkan kepada saya, ada. Niatan saya untuk mundur tersebut ada. Dan bahkan penah saya pernyatakan dan saya sampaikan secara tertulis.
Niatan dan langkah seperti itu bagi saya, yang bekerja sebagai pekerja swasta, selain berkenaan dengan hasil kerja yang telah saya lakukan, juga karena pemikiran bahwa lahan yang saya tunaikan sudah menjadi lahan yang tidak 'cukup lebar' lagi. Hal ini saya pernah jalani di tiga lembaga sebelumnya. Memadai dalam arti harga diri. Yaitu 'harga diri' dalam makna konotasi dan makna denotasi.
Dan sepanjang refleksi diri yang saya lakukan berkenaan dengan langkah mundur RD dan kalimat tausiah ustad dalam pembukaan rapat yayasan, maka masih banyak hal yang harus selalu saya lakukan. Karena ternyata meski lama durasi waktu yang saya jalani dalam menunaikan amanah sebagai pemimpin, pekerjaan untuk mencapai tujuan lembaga tidak akan pernah selesai dan habis. Dan itu membutuhkan saya sebagai jenderal lapangan dan tidak sekedar sebagai administrator di meja kerja saya.
Sebagai jenderal lapangan, saya adalah pemegang komando, pengatur strategi, penyemangat, dan tentunya sahabat bagi semua. Semoga kekuatan dan kemudahan serta keberkahan dalam langkah kami semua dalam memegang amanah. Amin.
Jakarta, 15 Desember 2011.
1 comment:
Postingan yang bagus Pak...Maaf sebelumnya izinkan saya untuk komentar sedikit. Keputusan mundur RD merupakan keputusan yang berani jika memang alasan itu dilandasi karena merasa gagalnya beliau sebagai pelatih. Hal ini mengingatkan saya pada pemerintahan jepang, yang mana dalam kurun waktu 5 tahun belakangan ini sering berganti perdana menteri. Bahkan perdana menteri sebelum yg sekarang ini berhenti hanya karena tidak mampu memenuhi satu janji yang telah dibuatnya dlm kurun waktu yg telah ditentukannya.Padahal bisa saja Ia bersusaha mewujudkan perjanjian itu selama sisa pemerintahannya. Tapi karena harga diri, ia lebih memilih mundur. Para perdana menteri tersebut menjadikan 'mundur'sebagai bentuk tanggung jawab atas kegagalan mereka memerintah(memenuhi janji).
Pada komentar ini saya cuman mau membandingkan 2 buah type pemikiran yaitu antara pemikiran masyarakat jepang dan indonesia. Jika sebagian masyarakat jepang merasa gagal terhadap sesuatu yang diembankan kepadanya maka kebanyakan adalah memilih mundur mungkin dengan 2 alasan. Pertama, tetap memperjuangkan hal yang telah dijanjikan tapi dengan jalur yg berbeda bukan pada posisi yang sama. Kedua, benar-benar berhenti memperjuangkan hal yang telah dijanjikan karena bisa mengukur kemampuan dirinya yang tidak bisa mewujudkan hal tersebut. Sedangkan kebanyakan masyakat kita(para pemimpin) ketika gagal memenuhi janji maka keputusan mundur itu bukan hal yang paling tepat. Banyak hal yang melandasinya. Pertama, Jika gagal sekali maka bisa berusaha mewujudkannya dilain waktu selama sisa kekuasaannya meskipun hal itu ngak akan pernah terpenuhi. Kedua, masih banyak janji yang harus dipenuhi, jadi kalau satu janji aja yang gagal yach di anggap tidak apa-apa(mengacuhkan janji). Ketiga, merasa paling kompeten(paling bisa) dalam mengurusi segala hal sehingga mengabaikan bahwasanya masih banyak yang lebih kompeten dari dirinya. Keempat, kapan lagi bisa berkuasa karena mungkin itu adalah kesempatan satu-satunya jadi harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan pribadi atau orang2 yg bersamanya. Dan alasan-alasan lainnya untuk tetap tidak mundur. Lihat saja contoh kasus petinggi pssi sebelum ini yang tetap kekeh mau jadi pemimpin sedangkan masyarakat sudah tidak percaya. Alasannyakan karena masih semangat dan yakin bisa merubah pssi, padahal sudah jelas sekali kegagalannya.
Maaf Pak terlalu panjang dan mungkin ngelantur..klo ada yang salah mohon dikoreksi.
Saya sebagai diri pribadi juga jika ditempatkan pada posisi sang pemimpin dan dihadapkan pada kegagalan maka saya akan berusaha memperbaiki kegagalan itu semampu saya. Namun pertanyaannya adalah apakah saya tetap menempati posisi itu atau instrospeksi diri dulu dan berjuang dengan jalan yang lain. Tapi yang jelas suatu janji sekecil apapun itu adalah sama dengan janji-janji besar. Semua harus dipertanggungjawabkan dan tidak boleh diacuhkan. Dan keputusan mundur itu mungkin salah satu bentuk wujud bahwasanya kita tidak membedakan suatu janji apapun dan kita serius terhadap janji itu. Jika gagal maka itu adalah kegagalan yang harus dipertanggungjawabkan....
Mohon maaf dan terima kasih.
Post a Comment