Pasukan 703 (baca: pasukan tujuh kosong tiga). Adalah istilah yang pertama sekali saya dengar dari kawan saya di Yayasan. Entah dari mana kawan saya ini mendapat inspirasi istilah ini. Mungkin dari temannya juga, saya kurang begitu paham. Namun yang jelas istilah tujuh kosong tiga itu membuat saya saat itu terperanggah. Karena istilah itu begitu semitri dan sebangun dengan apa yang dimetaporakan dalam dunia nyatanya.
Ini adalah sindiran bagi mereka yang menjadi pegawai, yang rajin menempelkan jari tangannya di mesin absensi, saat sampai dan kemudian pulang kantor, namun diantara waktu itu kurang efektif keberadaannya di ruang kerjanya.
Tujuh kosong tiga artinya, adalah masuk pukul 7 pagi dan sepanjang hari hanya chatting, browsing, blogging atau bahkan gosip, dan pulang kerja tepat pukul tiga. Chatting, browsing, blogging atau gosip yang dimaksud adalah kegiatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan amanah yang harus dijalankannya sepanjang waktu di kantor tersebut. Dan kalau ada kegiatan yang lebih berharga dari itu ya membaca koran.Tapi mungkin di bererapa tempat bukan tujuh kosong tiga tetapi mungkin tujuh kosong empat, atau delapan kosong lima. Namun inti dan esensinya sama persis.
Pegawai dengan mentalitas seperti ini akan berteriak banyak kerjaan ketika ada situasi yang menuntutnya untuk sedikit bekerja. Bahkan jika kelebihan waktu pulang, tidak jarang mereka akan menuliskan waktu kelebihan itu dalam buku agendanya atau dalam permohonan lembur.
Jadi apakah makna kosong disini berarti pegawai itu sama sekali tidak mengerjakan apa-apa sepanjang keberadaannya di kantor? Tidak juga. Pasti ada juga yang dikerjakannya sepanjang pukul tujuh hingga pukul tiga sore itu. Namun pasti juga tidak selevel antara apa yang mereka lakukan sebagai unjuk kerjanya dengan tuntutan yang selalu mereka kumandangkan. Model pegawai seperti ini terlanjur menjadikan kegiatan-kegiatan seperti yang saya sebutkan di atas sebagai kegiatan kantornya.
Namun saat wisata ke Solo-Yogyakarta tanggal 24-27 Juni 2010 lalu, ada sahabat lama saya yang mengeluhkan jam kerjanya. Ia merasakan sengatan apa yang saya kutip dari teman saya itu. Dan dirinya menyebutkan bahwa dirinya masuk pasukan tujuh satu kosong. Maksudnya? Masuk kerja di sekolah sebagai guru pada pukul tujuh, lalu mengajar sebanyak 12 jam mata pelajaran setiap pekannya dan pulang sekolah atau mengajar pukul sepuluh.
"Lo, kok bisa seperti itu?" tanya saya kepada kawan lama saya itu.
" Ya memang begitu aslinya Pak." Jelasnya.
Bukankah itu enak? Gaji terjamin dengan model pintar goblok pendapatan sama? Sahabat saya mengiyakan. Namun tidak sepenuhnya sependapat. Ia takut situasi ini menjadi budaya yang akan menggerogoti vitalitas jiwanya untuk terus tumbuh.
Hari itu ia masih memiliki kesadaran untuk terus tumbuh. Pikir saya. Namun pelan tapi pasti, bila dia tidak segera melakukan serangkaian deklarasi atas pola tujuh satu kosongnya, ia akan menjadi teman yang berjiwa stagnan. Tidak memiliki vitalitas untuk tumbuh.
Bagaimana dengan Kita sendiri?
Jakarta, 28 Juni-10 Juli 2010.
Ini adalah sindiran bagi mereka yang menjadi pegawai, yang rajin menempelkan jari tangannya di mesin absensi, saat sampai dan kemudian pulang kantor, namun diantara waktu itu kurang efektif keberadaannya di ruang kerjanya.
Tujuh kosong tiga artinya, adalah masuk pukul 7 pagi dan sepanjang hari hanya chatting, browsing, blogging atau bahkan gosip, dan pulang kerja tepat pukul tiga. Chatting, browsing, blogging atau gosip yang dimaksud adalah kegiatan yang tidak ada sangkut pautnya dengan amanah yang harus dijalankannya sepanjang waktu di kantor tersebut. Dan kalau ada kegiatan yang lebih berharga dari itu ya membaca koran.Tapi mungkin di bererapa tempat bukan tujuh kosong tiga tetapi mungkin tujuh kosong empat, atau delapan kosong lima. Namun inti dan esensinya sama persis.
Pegawai dengan mentalitas seperti ini akan berteriak banyak kerjaan ketika ada situasi yang menuntutnya untuk sedikit bekerja. Bahkan jika kelebihan waktu pulang, tidak jarang mereka akan menuliskan waktu kelebihan itu dalam buku agendanya atau dalam permohonan lembur.
Jadi apakah makna kosong disini berarti pegawai itu sama sekali tidak mengerjakan apa-apa sepanjang keberadaannya di kantor? Tidak juga. Pasti ada juga yang dikerjakannya sepanjang pukul tujuh hingga pukul tiga sore itu. Namun pasti juga tidak selevel antara apa yang mereka lakukan sebagai unjuk kerjanya dengan tuntutan yang selalu mereka kumandangkan. Model pegawai seperti ini terlanjur menjadikan kegiatan-kegiatan seperti yang saya sebutkan di atas sebagai kegiatan kantornya.
Namun saat wisata ke Solo-Yogyakarta tanggal 24-27 Juni 2010 lalu, ada sahabat lama saya yang mengeluhkan jam kerjanya. Ia merasakan sengatan apa yang saya kutip dari teman saya itu. Dan dirinya menyebutkan bahwa dirinya masuk pasukan tujuh satu kosong. Maksudnya? Masuk kerja di sekolah sebagai guru pada pukul tujuh, lalu mengajar sebanyak 12 jam mata pelajaran setiap pekannya dan pulang sekolah atau mengajar pukul sepuluh.
"Lo, kok bisa seperti itu?" tanya saya kepada kawan lama saya itu.
" Ya memang begitu aslinya Pak." Jelasnya.
Bukankah itu enak? Gaji terjamin dengan model pintar goblok pendapatan sama? Sahabat saya mengiyakan. Namun tidak sepenuhnya sependapat. Ia takut situasi ini menjadi budaya yang akan menggerogoti vitalitas jiwanya untuk terus tumbuh.
Hari itu ia masih memiliki kesadaran untuk terus tumbuh. Pikir saya. Namun pelan tapi pasti, bila dia tidak segera melakukan serangkaian deklarasi atas pola tujuh satu kosongnya, ia akan menjadi teman yang berjiwa stagnan. Tidak memiliki vitalitas untuk tumbuh.
Bagaimana dengan Kita sendiri?
Jakarta, 28 Juni-10 Juli 2010.
No comments:
Post a Comment