Tiba-tiba saya mendapatkan ide ketika saya sedang mengatakan kepada teman bahwa; Kita harus mempunyai rasa memiliki terhadap sekolah ini. Kalimat ini perlu saya sampaikan untuk memberikan penegasan bahwa amanah menjadi guru tidak saja amanah untuk berdiri dan melakukan pengajaran di dalam kelas. Tetapi jauh lebih mulia dari hanya sekedar mengajar.
Mengapa lebih mulia dari sekedar mengajar? Karena amanah itu meliputi keseluruhan aktivitas guru dan siswa baik saat di dalam kelas, di dalam sekolah, bahkan tidak jarang saat mereka bercengkerama di SMS, Facebook atau Twitter. Bashkan juga tidak hanya terbatas di kelas mana kita mengajar, karena kita bagian dari sebuah sekolah, kita juga berkewajiban untuk aruh-aruh bila terdapat ketidakberesan yang sesungguhnya sudah melewati lokasi kelas kita.
Dalam benak saya, kalimat ini memiliki pengertian agar kita selalu menjadi bagian dan stake holder dari sekolah ini. Pengertian ini akan membawa implikasi agar kita memiliki tanggung jawab sepenuh hati sepanjang keberadaan amanah pada dirinya. Tuntutan yang sedemikian besarnya inilah yang, menurut saya, membuat profesi ini sangat mulia. Dan apabila dalam mengejawantahkan amanah ini dilandasi oleh dua kalimat sayahadah, maka kemuliaan itu tidak saja hanya untuk dunia tetapi juga di akherat.
Rasa memiliki yang saya uraikan tersebut adalah harapan positif dan ideal yang dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah kita. Namun dalam bagian lain, saya juga berpikir makna rasa memiliki yang mungkin jangan sampai terjadi di wilayah kita. Karena perilaku yang lahir dalam pengertian ini sungguh merusak jiwa kita untuk tumbuh secara baik.
Perilaku negatif dari rasa memiliki sekolah, adalah perilaku tidak disiplin. Yaitu datang hampir selalu terlambat. Baik datang ke sekolah atau juga datang untuk mengajar di kelas. Karena seringnya datang terlambat, atau mungkin juga terlambat saat mengumpulkan RPP ke Kepala Sekolah, draft soal evaluasi yang harus dikoreksi terlebih dahulu oleh Kepala Sekolah, maka perilaku itu tidak hanya miliki Kepala Sekolah sebagai pemegang otoritas tertinggi di sekolah, tetapi juga sudah menyebar ke seluruh guru yang ada di lembaga itu. Dan kenyataan itu telah meruntuhkan harga diri kita yang menjadi pelakunya di hadapan komunitas yang ada.
Perilaku ini lahir sedikit banyak karena pengaruh percaya dirinya yang terlalu berlebihan, sehingga merasa dirinyalah pemilik sekolah, tanpa mau memperdulikan bagaimana persepsi orang atau anggota komunitas dimana ia berada. Guru atau karyawan seperti inilah yang terlampau tinggi 'rasa memiliki'nya terhadap lembaga dimana ia belerja.
Bagaimana nasib guru atau karyawan model ini? Di sekolah atau lembaga yang baik, yaitu lembaga yang memuliakan kemuliaan lembaganya, akan menjadi hal ini sebagai proses pemelajaran bagi yang bersangkutan atau anggota komunitas lainnya. Caranya? Salah satunya dengan menjadikan kasus seperti itu sebagai problem based learning.
Seperti juga ketika memelajarkan siswa di kelas, kegiatan problem based learning itu juga dirancang tujuannya, strateginya, serta tenggat waktunya. Juga jangan lupa, ada evaluasinya. Dan dari evaluasi itu nantinya ada nilai tertentu yang menjadi target lulus dan tidaknya.
Lalu apa sesungguhnya esensi dari 'rasa memiliki' dalam konotasi ini? Esensinya adalah perilaku tidak tahu diri, angkuh, sok, dan (meminjam istilahnya komedian Tukul Arwana), sangat katro!
Jakarta, 17-18 Juli 2010
Mengapa lebih mulia dari sekedar mengajar? Karena amanah itu meliputi keseluruhan aktivitas guru dan siswa baik saat di dalam kelas, di dalam sekolah, bahkan tidak jarang saat mereka bercengkerama di SMS, Facebook atau Twitter. Bashkan juga tidak hanya terbatas di kelas mana kita mengajar, karena kita bagian dari sebuah sekolah, kita juga berkewajiban untuk aruh-aruh bila terdapat ketidakberesan yang sesungguhnya sudah melewati lokasi kelas kita.
Dalam benak saya, kalimat ini memiliki pengertian agar kita selalu menjadi bagian dan stake holder dari sekolah ini. Pengertian ini akan membawa implikasi agar kita memiliki tanggung jawab sepenuh hati sepanjang keberadaan amanah pada dirinya. Tuntutan yang sedemikian besarnya inilah yang, menurut saya, membuat profesi ini sangat mulia. Dan apabila dalam mengejawantahkan amanah ini dilandasi oleh dua kalimat sayahadah, maka kemuliaan itu tidak saja hanya untuk dunia tetapi juga di akherat.
Rasa memiliki yang saya uraikan tersebut adalah harapan positif dan ideal yang dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah kita. Namun dalam bagian lain, saya juga berpikir makna rasa memiliki yang mungkin jangan sampai terjadi di wilayah kita. Karena perilaku yang lahir dalam pengertian ini sungguh merusak jiwa kita untuk tumbuh secara baik.
Perilaku negatif dari rasa memiliki sekolah, adalah perilaku tidak disiplin. Yaitu datang hampir selalu terlambat. Baik datang ke sekolah atau juga datang untuk mengajar di kelas. Karena seringnya datang terlambat, atau mungkin juga terlambat saat mengumpulkan RPP ke Kepala Sekolah, draft soal evaluasi yang harus dikoreksi terlebih dahulu oleh Kepala Sekolah, maka perilaku itu tidak hanya miliki Kepala Sekolah sebagai pemegang otoritas tertinggi di sekolah, tetapi juga sudah menyebar ke seluruh guru yang ada di lembaga itu. Dan kenyataan itu telah meruntuhkan harga diri kita yang menjadi pelakunya di hadapan komunitas yang ada.
Perilaku ini lahir sedikit banyak karena pengaruh percaya dirinya yang terlalu berlebihan, sehingga merasa dirinyalah pemilik sekolah, tanpa mau memperdulikan bagaimana persepsi orang atau anggota komunitas dimana ia berada. Guru atau karyawan seperti inilah yang terlampau tinggi 'rasa memiliki'nya terhadap lembaga dimana ia belerja.
Bagaimana nasib guru atau karyawan model ini? Di sekolah atau lembaga yang baik, yaitu lembaga yang memuliakan kemuliaan lembaganya, akan menjadi hal ini sebagai proses pemelajaran bagi yang bersangkutan atau anggota komunitas lainnya. Caranya? Salah satunya dengan menjadikan kasus seperti itu sebagai problem based learning.
Seperti juga ketika memelajarkan siswa di kelas, kegiatan problem based learning itu juga dirancang tujuannya, strateginya, serta tenggat waktunya. Juga jangan lupa, ada evaluasinya. Dan dari evaluasi itu nantinya ada nilai tertentu yang menjadi target lulus dan tidaknya.
Lalu apa sesungguhnya esensi dari 'rasa memiliki' dalam konotasi ini? Esensinya adalah perilaku tidak tahu diri, angkuh, sok, dan (meminjam istilahnya komedian Tukul Arwana), sangat katro!
Jakarta, 17-18 Juli 2010
No comments:
Post a Comment