Menjadi guru, dewasa ini menjadi pilihan yang memiliki prospektif. Setidaknya dengan terbitnya undang-undang guru dan dosen serta jaminan pendapatan yang memadai. Itu pulalah yang antara lain, baik secara langsung ataupun tidak langsung, menaik daunkan profesi guru. Tetapi dibalik itu semua, penulis ingin menyampaikan beberapa kisah yang memiliki kaitan sangat erat dengan martabat seorang guru. Apakah guru tersebut masih menjabat sebagai guru di dalam kelas atau pun guru yang telah memiliki jabatan struktural seperti wakil kepala sekolah atau kepala sekolah.
***
Kisah pertama. Kisah ini disampaikan oleh seorang siswa sewaktu penulis masih menjadi guru di dibilangan Bintaro Tangerang Banten. Siswa pindahan ini mencoba mengkomparasi transparansi antara sekolahnya sekarang dengan sekolahnya sebelumnya. Ia sangat menghargai dengan model keterbukaan yang terdapat di sekolahnya kini. Transparansi dan keterbukaan tersebut adalah yang berkenaan dengan biaya masuk sekolah yang lumrah disebut sebagai sumbangan pendidikan atau SP. Dimana sekolahnya kini besaran uang SP tertera dalam beaya sekolah secara keseluruhan. Dan pembayaran hanya dilakukan melalui jasa perbankan.
Sedang di sekolahnya yang lama selain uang SP dan uang lainnya yang secara resmi ada daftarnya, pajabat penerimaan siswa baru ketika mewawancarai dia dan orangtuanya masih meminta ’sumbangan tambahan’ yang disebut sebagai sumbangan suka rela. Bentuknya dapat berupa bahan mentah (uang tunai) atau tambahan fasilitas sekolah. Dari sumbangan inilah ia dibuat kecewa atas tiadanya transparansi. Misalnya, dikemudian hari setelah ia resmi menjadi siswa, sumbangan tv 29 inci yang oleh petugas penerimaan siswa baru disebutkan sebagai tambahan fasilitas sekolah, tidak pernah ia temukan tv itu. Dimana keberadaan tv 29 inci tersebut menjadi teka-teki.
Kisah kedua, adalah kisah tentang seorang guru yang selalu memilih siswa di setiap akhir tahun pelajaran untuk menjadi siswanya di awal tahun pelajaran. Ini mengingat sekolah dimana guru tersebut mengabdi terdiri dari empat pararel kelas. Dan kebetulan pula guru tersebut terbilang guru senior di sekolahnya. Maka akses kearah itu bukan sesuatu yang mustahil. Tetapi kisah ini tercium dan menjadi rahasia umum buat sebagian orangtua siswa dan guru yang ada.
Pemilihan tersebut didasarkan kepada ke’dermawanan’ orangtua siswa di kelas sebelumnya. Maka sudah menjadi rahasia umum jika siswa di kelas guru tersebut adalah kumpulan siswa yang orangtuanya memiliki track record sebagai dermawan di jenjang kelas sebelumnya. Apa motivasi guru berperilaku seperti itu, tentu pembaca tahu. Dan seperti juga teman-teman kolega guru tersebut, mereka semua bersikap terbelah. Ada kelompok guru yang membiarkannya dan masa bodoh. Sedang sebagian lainnya merasa ikut terusik martabatnya sebagai guru dan memberitahukan segala tingkah polah beserta kelicikan guru tersebut kepada kepala sekolah. Dan sekali lagi, kepala sekolah menjadi kalah langkah atas kecerdikan guru tersebut, yang sebenarnya ia percayai sebagai bagian dari guru inti di sekolah yang ia pimpin. Bahkan iapun menerima kabar bahwa setiap menjelang libur guru tersebut memesan sesuatu sebagai oleh-oleh jika siswanya pergi keluar kota.
***
Masih banyak kisah yang senada dengan dua kisah itu. Tetapi dalam kesempatan kali ini kita cukupkan pada dua kisah singkat di atas untuk kemudian bersama kita mengaca pada diri kita masing-masing. Pertama, bahwa sebagai guru sekaligus pendidik, apa yang menjadi keputusan dan tingkah laku kita kadang menjadi ukuran mengenai sikap luhur yang seharusnya menjadi bagian inheren dari pribadi seorang guru. Inilah profesi yang selalu menjadi cermin moral. Maka layaklah jika guru atau pendidik adalah kompas pribadi yang agung dan unggul. Maka perilaku yang tidak selaras dari indikator keagungan atau keluhuran, akan dan pasti terungkap.
Kedua, pelajaran yang dapat kita ambil dari dua kisah tersebut adalah kisah buruk akan selalu terbongkar. Dan pembongkarnya sering kali adalah orang-orang yang berkait erat dengan pelaku atau korban dalam kisah yang dialaminya. Seperti sebuah kausalitas, kenyataan ini selalu akan berulang dan kita sering pula dilupakan untuk kemudian memilih sikap bodoh seperti dua kisah diatas. Dengan ini pulalah maka bersikap dan berlaku jujur akan menuju tingkatan terhormat yang akan menjadi sendi bagi terjaganya martabat. Jujur artinya menjaga diri dari apa yang bukan miliknya, menerima apa yang telah menjadi hak dan miliknya dengan takaran yang adil atau seimbang.
Ketiga, mengembalikan domain keguruan padn yanga tataran yang telah menjadi garis perjuangannya. Yaitu melayani dan memfasilitasi siswa dalam mengoptimalkan potensi kecerdasannya. Tanpa terjebak pada arus politik dan pragmatisme yang sedang membawa arus pesat dilingkungan kita semua.
Apakah pada akhirnya seorang guru harus menerima apa adanya? Tidak. Seorang guru yang secara konsisten berkomitmen kepada profesi keguaruannya, selain tetap akan memperoleh rizky berupa materi ia akan selalu dilimpahi oleh rizky transendental yang akan terus mengalir sepanjang kehidupannya. Itulah amal jariah.
Jakarta, 2 Juni 2010; Sumber Pelita, 9 April 2006.