Pelaksanaan UN atau Ujian Nasional telah memasuki babak akhir. Bagi yang akan melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, para mantan siswa SMA dan sederajat saat ini masih terbagi dalam 3 kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang telah beres melakukan regestrasi, kelompok kedua adalah mereka yang sedang menunggu hasil Ujian Masuk Bersama, atau sedang giat-giatnya mempersipkan diri untuk pelaksanaan tes masuk. Baik yang SNMPTN atau tes masuk di tempat lainnya.
Sedang bagi lulusan SMP dan SD, sekarang hingga pertengahan Juli nanti masih harus disibukkan memilih dan melakukan pendaftaran di jenjang SMP atau SMA jika sekolah negeri sebagai pilihannya.
Dan bagi sekolah, waktu sekarang ini adalah waktu sibuknya menyiapkan dokumen kelulusan serta waktunya melakukan refleksi dan evaluasi terhadap hasil UN. Termasuk juga apa yang terjadi di sekolah kami. Hasil UN yang menempatkan sekolah kita berada pada posisi berapa, hinga hari ini masih terus menjadi bahan diskusi. Hal ini sebagai bagian dari refleksi dan evaluasi. Masing-masing dengan argumentasinya.
Mengapa posisi kita turun? Kata seorang teman.
Karena rata-rata nilai komulatif UAN turun. Jelas teman yang lain.
Ada panjelasannya? Desak teman yang lain.
Karena rata-rata UAN adalah hasil komulatif dari hasil individu, maka turunnya nilai komulatif UAN adalah kontribusi dari turunnya nilai rata-rata siswa. Jelas teman yang lain.
Kalau begitu, mulai tahun depan PSB hanya menyaring anak-anak yang pandai saja. Begitu pandapat salah satu teman mengakhiri diskusinya.
Sekolah Anak Pandai
Begitulah konklusi dari diskusi peringkat sekolah berdasarkan hasil UAN yang posisinya menjadi turun dibanding peringkat sekolah tahun lalu. Sekolah untuk anak pandai? Sebelum saya setuju, akan lebih baik jika kita merenung.
Bila itu yang menjadi pilihan sebagai solusinya, berapa sekolah yang berkeinginan mendapatkan siswa yang pandai saja? Juga seberapa besar minat calon siswa untuk masuk dalam selesksi itu? Dan kalau terdapat beberapa sekolah yang punya keinginan seperti ini lalu dimanakah anak bangsa yang tergolong tidak pandai untuk melanjutkan sekolah? Siapa yang akan memberikan wahana pengembangan bagi potensi mereka?
Apakah kita segabai guru dalah generasi yang masuk dalam kategori pandai? Apakah anak-anak kita di rumah juga masuk dalam katagori itu? Apakah famili kita juga adalah berasal dari kalangan seperti itu? Apa motivasi kita hanya menerima siswa pandai saja di sekolah? Jika jawabannya adalah agar peringkat sekolah yang berdasarkan UAN naik, dan hanya ada 4 mata pelajaran UAN yang diujikan di SMP, dan hanya aspek kognitif saja yang masuk dalam soal UAN tersebut, maka sesungguhnya kita sedang berdebat tentang peringkat kompetensi kognitif siswa. Bukan peringkat sekolah!
Lalu, karena peringkat yang kita ributkan adalah peringkat kognitif, maka proses pengajaran saja yang sedang kita gundahkan. Sementara proses pendidikan tidak tersentuh. Interaksi hangat antara guru-siswa, tidak menjadi bagian dari pemeringkatan tersebut.
Artinya, bukan kualitas sekolah yang semestinya menjadi fokus kita ke depan. Tetapi kualitas proses. Oleh karenanya, jika sekolah telah memilki kompetensi mengembangkan siswa dengan model apapun dan siswa tersebut mampu melampaui target normalnya, baik dalam aspek kognitif maupun budi pekerti, itulah sekolah unggul.
Pertanyaan saya berikutnya adalah: Sudah seberapa ungulkah kita, sehingga kita memiliki kemampuan untuk mengembangkan generasi unggul?
Allahu a'lam bishawab,
Jakarta, 22 Juni 2009.