Dalam sebuah kesempatan berdialog dengan teman-teman diantara kesibukan pekerjaan, saya mengusulkan agar kita mengisi waktu kita yang masih ada dengan aktivitas membaca dan atau menulis. Alih-alih mendapatkan tanggapan positif terhadap apa yang saya sampaikan, namun sebaliknya, justru ada menyampaikan pernyataan tidak terduga; Maaf Pak, saya sibuk.
Sibuk? Ya itu memang sebagai kenyataan bahwa kita sebagai guru, disibukkan oleh tugas keguruan di sekolah. Hingga kita tak sempat lagi atau mungkin lebih tepatnya tidak sanggup lagi jika mengisi kegiatan lain yang tidak berkorelasi langsung dengan aktivitas mengajar. Seperti membaca buku (saya tentu tidak katakan membeli buku), mengunjungi tempat diskusi keguruan dan kependidikan gratis yang sekarang banyak diselenggarakan oleh badan nirlaba, belajar membuat akun email, menjadi bagian dari jejaring sosial berbasis internet atau membuat blog, atau kegiatan keorganisasian.
Dengan merasakan diri sebagai orang yang terbelit kesibukan dari tugas keguruan di dalam kelas, maka kita akan menganggap diri telah menjadi pribadi paripurna. Dan atas keyakinan menjadi pribadi paripurna itu berarti kita telah memaknai diri sebagai pribadi yang telah cukup dan tidak membutuhkan lagi penambahan wawasan dan keterampilan. Dan karena itu hanya terlihat dari dalam dan bukan dari luar, maka dapat berarti pula bahwa kita sedang memasuki pintu gerbang kemandegan.
Harus diakui pula bahwa, mengemban tugas dan kewajiban di bidang apapun dimana kita berada, pastilah menuntut komitmen dan waktu yang akan menjadikan kita sibuk. Namun terlalu meyakini bahwa hidup kita hanya sebatas itu dan kita telah menakwilkan diri sebagai pribadi cukup, itulah awal dari kemandegan itu.
Betapa tidak, karena jika saja kita meluangkan waktu untuk bertemu teman sejawat dalam suatu forum diskusi, maka kita sesungguhnya sedang menemukan koordinat ‘harga diri’ kita diantara konstelasi koordinat sosial yang ada. Karena interaksi yang terjadi di dalam dan selama forum tersebut berlangsung, kita pastilah menemukan posisi dan koordinat teman. Dan dari situ pula kita bisa mengukur diri. Dan forum itu telah menjadi benchmark bagi kita. Demikian pula halnya jika kita mencoba untuk menjadi bagian sebuah organisasi apapun itu yang tentunya diluar kesibukan pokok kita.
Oleh karenanya menempatkan diri kita cukup dengan kegiatan utama kita saja dan menganggap itu sebagai puncak kesibukan hingga menyeret kita untuk tidak ambil bagian dalam arus pengembangan diri, maka pernyataan sibuk kita itu sama artinya dengan mengurung potensi diri dibawah tempurung.
Sebaliknya, bilamana dengan waktu yang ada dan tugas yang harus ditunaikan secara penuh komitmen namun masih menjadikan kegiatan yang tidak berkorelasi langsung terhadap tugas sebagai ranah yang harus ‘dimilikinya’, maka kita sebenarnya sedang membuka lembaran optimalisasi potensi kita sendiri dalam menuju anak tangga yang lebih tinggi.
Allahu A’lam bishawab,
Jakarta, 1 Juni 2009.
Sibuk? Ya itu memang sebagai kenyataan bahwa kita sebagai guru, disibukkan oleh tugas keguruan di sekolah. Hingga kita tak sempat lagi atau mungkin lebih tepatnya tidak sanggup lagi jika mengisi kegiatan lain yang tidak berkorelasi langsung dengan aktivitas mengajar. Seperti membaca buku (saya tentu tidak katakan membeli buku), mengunjungi tempat diskusi keguruan dan kependidikan gratis yang sekarang banyak diselenggarakan oleh badan nirlaba, belajar membuat akun email, menjadi bagian dari jejaring sosial berbasis internet atau membuat blog, atau kegiatan keorganisasian.
Dengan merasakan diri sebagai orang yang terbelit kesibukan dari tugas keguruan di dalam kelas, maka kita akan menganggap diri telah menjadi pribadi paripurna. Dan atas keyakinan menjadi pribadi paripurna itu berarti kita telah memaknai diri sebagai pribadi yang telah cukup dan tidak membutuhkan lagi penambahan wawasan dan keterampilan. Dan karena itu hanya terlihat dari dalam dan bukan dari luar, maka dapat berarti pula bahwa kita sedang memasuki pintu gerbang kemandegan.
Harus diakui pula bahwa, mengemban tugas dan kewajiban di bidang apapun dimana kita berada, pastilah menuntut komitmen dan waktu yang akan menjadikan kita sibuk. Namun terlalu meyakini bahwa hidup kita hanya sebatas itu dan kita telah menakwilkan diri sebagai pribadi cukup, itulah awal dari kemandegan itu.
Betapa tidak, karena jika saja kita meluangkan waktu untuk bertemu teman sejawat dalam suatu forum diskusi, maka kita sesungguhnya sedang menemukan koordinat ‘harga diri’ kita diantara konstelasi koordinat sosial yang ada. Karena interaksi yang terjadi di dalam dan selama forum tersebut berlangsung, kita pastilah menemukan posisi dan koordinat teman. Dan dari situ pula kita bisa mengukur diri. Dan forum itu telah menjadi benchmark bagi kita. Demikian pula halnya jika kita mencoba untuk menjadi bagian sebuah organisasi apapun itu yang tentunya diluar kesibukan pokok kita.
Oleh karenanya menempatkan diri kita cukup dengan kegiatan utama kita saja dan menganggap itu sebagai puncak kesibukan hingga menyeret kita untuk tidak ambil bagian dalam arus pengembangan diri, maka pernyataan sibuk kita itu sama artinya dengan mengurung potensi diri dibawah tempurung.
Sebaliknya, bilamana dengan waktu yang ada dan tugas yang harus ditunaikan secara penuh komitmen namun masih menjadikan kegiatan yang tidak berkorelasi langsung terhadap tugas sebagai ranah yang harus ‘dimilikinya’, maka kita sebenarnya sedang membuka lembaran optimalisasi potensi kita sendiri dalam menuju anak tangga yang lebih tinggi.
Allahu A’lam bishawab,
Jakarta, 1 Juni 2009.
6 comments:
Benar sekali pak agus, saya setuju.
Bagi saya, kegiatan tulis-menulis itu justru berkorelasi langsung. Sesungguhnya guru itu wajib menulis. Keberadaan KTSP sebenarnya mengarahkan guru ke arah sana. sebaiknya guru menulis sendiri materi yang diajarkannya, bukan hanya menyajikan persis seperti yang disajikan oleh penerbit.
Seorang kontributor www.bahasasiswa. do.am mengungkapkan bahwa para penulis buku teks dan buku pengayaan/referensi itu rata-rata orang yang tidak punya pengalaman mengajar. bahkan, mereka juga bukan lulusan sekolah guru.
Apakah kita mau didikte oleh mereka yang tidak punya pengalaman mengajar dan tidak tahu kondisi langsung sekolah?
Kembali pada kegiatan menulis guru. Kewajiban menulis guru juga berguna saat dia mengikuti sertifikasi. hal ini masuk poin pengembangan profesi. untuk mendapakan poin ini kebanyakan guru "melarikan" diri dengan mengikuti diklat. padahal, sekarang ini tarif sekali diklat 70-150 ribu. sementara, menulis, hanya butuh modal beberapa ribu saja.
Khusus guru bahasa, bahasa jawa, bahasa indonesia, bahasa inggris, atau bahasa yang lain. menulis semakin wajib. bagaimana seorang guru dapat mengajarkan keterampilan menulis jika dirinya saja tidak dapat menulis?
Pak Agus, tulisan Bapak sungguh jeli ... "menunjuk" namun lembut :)
Yah, kata "sibuk" itulah yg kalau tidak dimaknai oleh ybs secara tepat akan menjadi awal kemandegan. Saya suka dgn kalimat "pribadi yg paripurna" ... jika ada yg merasa demikian tentu telah menemukan tolok ukurnya. Tidak mungkin-lah "kehebatan" itu diukur hanya dari bayangan diri di cermin yg tiap pagi kita sapa.
Namun ... di sinilah saya juga menemukan dan merasakan "kebuntuan" ... betapa inginnya hati ini "mengajak" .. namun kadang mendapatkan jawaban spt yg Pak Agus sampaikan. Beliau2 yg mempunyai koneksi internet dan bisa mendayagunakannya mungkin lebih beruntung karena bermacam aktivitas social-virtual dapat ditemukan dan diikuti. Namun, beliau2 yg "mencukupkan dirinya"-lah ini yg sulit. Saya masih bertanya2, bagaimana menggugah beliau2 ini ... Jika dalam "kasus" Pak Agus mendapatkan jawaban "maaf, saya sibuk" .. maka yg saya dapatkan sepertinya lebih dari itu, yakni ada tambahan "pengucilan" ... walaupun ini bisa saja perasaan saya sendiri ... mungkin juga karena pendekatan saya yang salah , dst .. saya masih mencarinya ..
Kalau ada rekan2 milisser yg pernah sukses megajak "orang sibuk" ini ... saya sungguh2 ingin belajar ...
Salam "sibuk :) "
PakPur
yup pak, bapak benar. tulisan bapak menggugah siapapun yang membaca untuk senantiasa memperbaiki diri.jzklh.
Effie Ralph made a comment about your note "Sibuk":
Wah Pak,masih banyak ya Guru yg enggak sibuk.Di beberapa kesempatan saya berkunjung ke Sekolah2 negeri di Jakarta. Yang saya lihat,guru2 sedang berbincang2 di ruang guru sambil menikmati bakso sedangkan murid hanya belajar sendiri dengan buku dan tulisan di papan tulis,padahal itu baru jam 10 pagi. makan bakso jam 10 pagi? membiarkan murid2 belajar sendiri dgn buku? apa itu guru sibuk??? Kasian murid2nya.
Betul pak listiono.... .... guru saya dari 12 yang aktif berinternet hanya separow sisanya seperti pak agus ceritakan... ...
Zahra Aulianissa menulis komentar tentang catatan anda "Libur atau Dipecat?":
hahaha iya yah. rasanya pngen ngakak kalo denger cerita ayah yg ini. tapi kasian. hhhihihhi
Post a Comment