"Menyampakan keberatan dan masukan untuk pengelola sekolah. Bahwa ada Kepala Sekolah yang terpilih, yang sebelumnya bukan sebagai Wakil Kepala Sekolah? Apakah ini yang namanya kaderasasi?" Demikian SMS yag diterima teman dari nomor yang selama ini tidak tercatat di seluler kami semua. Saya pribadi setelah mendapat forward dari teman yang mendapat SMS tersebut mencoba mengecek kepada teman yang lain tentang nomor asing tersebut. Tetapi semuanya tidak pernah mencatat dengan nomor yang ada. Akhirnya kami sepakat untuk tidak perlu menjadikan SMS tersebut sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
Kaderisasi? Memang seharusnya demikian. Ketika seorang Kepala Sekolah karena suatu hal apa dan mengharuskannya untuk bertukar tempat atau mutasi atau bahkan pensiun, maka penggantinya yang paling dekat adalah salah satu dari wakilnya yang ada. Tetapi dalam kenyataannya tidak semua para wakil kepala sekolah, meski menduduki jabatannya tersebut lebih dari lima tahun, tidak semuanya memiliki kompetensi untuk memimpin sebuah sekolah.
Itu jugalah yang antara lain menjadi kendala bagi kami yang mengelola sekolah swasta. Pemilihan akhirnya kami buka untuk guru selain yang mendapat tugas sebagai Kepala Sekolah. Ada yang masih posisi guru, bahkan guru muda dengan pengalaman bekerja pada posisi guru lebih kurangnya 10 tahun.
Maka ketika dalam panel diskusi yang kami gelar secara terbuka, termasuk diantaranya adalah memberikan kesempatan kepada semua Wakil Kepala Sekolah dan juga para guru-guru untuk mengajukan tulisan yang memberi isyarat untuk mau terlibat dalam audisi yang kami gelar.
Dan ketika audisi berakhir, kemudian kami harus mendiskusikan untuk mengumpulkan semua informasi yang ada guna mengambil kesimpulan, maka justru semua Wakil berguguran dikalahkan oleh seorang guru yang berkobar semangatnya, jelas strategi penerapannya, serta fokus kepada penanganan operasional sebuah sekolah.
"Kami menyayangkan atas terpilihnya si A karena sebelumnya si A bukankah adalah seorang Wakil Kepala Sekolah?" Demikian antara lain bunyi sebuah kalimat yang saya terima langsung dari pengirim via pos surat. Surat tanpa nama lengkap pengirim selain hanya mencantumkan inisial. Yang sekali lagi sulit bagi kami untuk dapat menemukan siapakah orang tersebut?
Dan sama penanganannya. Kami tidak terlalu menjadikan SMS dan surat kaleng tersebut sebagai masukan berharga. Hasil rapat kami tetap pada keputusan awal kami untuk emilih mereka yang telah memberikan keyakinan kepada kami sebagai pengeliola tentang bagaimana melakukan pengelolaan sekolah swasta yang baik.
Mungkin orang dalam yang telah membuat surat kaleng dan mengirimkan SMS itu memiliki keyakinan akan efektivitas atas apa yang dimintanya, untuk kemudian kami terpengaruh sehingga keputusan yang kami ambil bisa fatal. Namun kami justru meyakinkan diri bahwa apa yang telah kami diskusikan dan kami simpulkan tersebut adalah suatu hal yang baik, Demikian.
Jakarta, 30 Juni 2016.