Ada istilah baru yang saya dapatkan dari anak bungsu saya yang selama ini tinggal di Jogjakarta. Istilah yang orisinil dari anak atas pengalaman yang dia dapat ketika kami makan jajanan pasar di saat saya mudik beberapa waktu lalu.
Seperti biasa, diantara saya ada di udik atau kampung halaman, ada beerapa waktu yang saya plot untuk 'menyusuri tempat-tempat penyejuk hati' yang lokasinya tidak jauh-jauh dari rumah tinggal orangtua saya. Dan untuk kali ini, lokasi yang saya susuri adalah pasar. Yang buka hanya dua hari sepanjang pekan, yaitu di hari pasarannya. Tidak ada hal khusus yang akan saya cari atau saya beli ketika sejak pukul 05.30 saya menuju pasar itu selain menyusuri lorong-lorong pasar yang dipenuhi para pedagang, yang dalam perkiraan saya, bermodalkan tidak lebih dari 200 ribu rupiah.
Setelah lama saya duduk dan menikmati pemandangan pembuat alat pertanian dengan pompa udara kembar yang terus menerus ditekan secara bergantian, yang lokasinya juga selalu berada di pinggiran pasar, sembari sesekali mengajukan pertanyaan, saya bergerak menuju tukang penjual tempe benguk.
Berada di depan penjual tempe, saya ragu untuk membeli sebanyak berapa. Maka saya menunggu orang lain terlebih dulu mengulurkan uang saat membeli.
"Tigang ewuke mawon Mbok." kata pembeli (Tiga ribu rupiah saja Bu). Saya berada persis disamping pembeli itu. Setelah tahu pasti bahwa dengan uang tiga ripu rupiah saja telah mendapatkan satu bungkus tempe benguk, maka saya menirukannya.
"Kulo sami mbok." Kata saya kepada pedagang itu (Saya pesan sama Bu).
Lalu apa komentar anak saya ketika kami memakan jajanan itu sesampai di rumah? Awalnya saya ragu kalau anak dan istri saya mau mencoba tempe benguk yang saya beli. Mengapa? Karena saya membeli tempe benguk itu tidak untuk yang pertama kalinya. Pendek kata setiap mudik dan pergi ke pasar, tempe benguk adalah komuditas yang selalu saya beli. Dan mereka belum pernah sekali[un mencobanya. Karena tampangnya yang tidak menggugah selera mereka.
Tapi bersyukur hari itu. Mungkin mereka mengira kalau saya lupa bahwa mereka tidak pernah mau mencobanya ketika waktu lalu saya membelinya. Maka pada saat mereka terlihat antusias mencoba, saya girang di dalam hati. Maklum, saya lahir dan besar di kampung, sementara mereka lahir dan besar menjadi dewasa di Jakarta.
Dan apa komentar mereka dengan tempe benguk yang dicobanya? Ibunya mengatakan enak! Sedang bungsu saya mengatakan enak seperti opor. Opor tempe!
Saya hanya bersyukur bahwa makanan yang saya kangeni ternyata mendapat apresiasi positif...
Jakarta, 20 Oktober 2015.
No comments:
Post a Comment