Naik Bus AKAP rute dari Yogyakarta yang menuju ke Purwokerto, yang biasanya saya hanya ikut untuk penggalan Gamping menuju Wojo atau sebaliknya, hampir saya lakukan manakala saya berkunjung ke kampung halaman naik umum. Biasanya saya naik bus AKAP dengan rute tersebut saat akan atau pulang darí kota Yogyakarta. Sebagaimana yang saya lakukan Pada saat selepas magrib di hari Sabtu tanggal 1 Januari 2011 itu.
Namun bukan tentang bus umum itu yang hendak saya sampaikan disini. Tetapi lebih dari kebiasaan yang, menurut saya unik dan baik untuk saya sampaikan di sini, yaitu tentang penjual buah. Yang secara kebetulan dari beberapa kali saya menumpangi bus jurusan ini selalu penjual itu yang berjualan di dalam bus. Apa yang dijualnya? Buah. Ya hanya buah. Bahkan lebih khusus lagi, buah jeruk. Suatu kali penjual buah itu menjual jeruk Pontianak, lalu pada kesempatan yang lain menjual jeruk Mandarin, lalu jeruk lainnya. Yang jelas, seingat saya semuanya adalah buah jeruk.
Namun bukan tentang bus umum itu yang hendak saya sampaikan disini. Tetapi lebih dari kebiasaan yang, menurut saya unik dan baik untuk saya sampaikan di sini, yaitu tentang penjual buah. Yang secara kebetulan dari beberapa kali saya menumpangi bus jurusan ini selalu penjual itu yang berjualan di dalam bus. Apa yang dijualnya? Buah. Ya hanya buah. Bahkan lebih khusus lagi, buah jeruk. Suatu kali penjual buah itu menjual jeruk Pontianak, lalu pada kesempatan yang lain menjual jeruk Mandarin, lalu jeruk lainnya. Yang jelas, seingat saya semuanya adalah buah jeruk.
Penjual itu akan naik bus yang kami tumpangi persis ketika bus ngetem di Gamping, daerah Ambar Ketawang, Yogyakarta. Ia baru akan masuk bus pada saat bus benar-benar akan berangkat. Ketika bus masih ngetem, ia tidak bakalan naik ke dalam bus. Buah jeruk yang dibawanya hampir penuh satu katong zak semen. Dan plastik kresek warna kuning akan di kemas dan disimpannya di kantong celananya. Di lehernya, selalu tergantung handuk kecil. Hampir selalu seperti itu gayanya berjualan, makanya saya dapat mendeskripsikan di sini.
Yang khas dari penjual jeruk di dalam bus itu selain apa yang telah saya sampaikan di atas adalah cara dia mempromosikan kepada seluruh penumpang yang nampaknya tidak begitu antusias atau bahkan cenderung terganggu. Namun ia sampaikan seperti orang sedang berorasi. Bukan tentang jeruknya yang dia jual, namun tentang hal lain.
Dan dalam orasi-orasinya itulah ia menarik perhatian kami yang sebenarnya bete, untuk sekedar mesem-mesem atau menganguk-angguk sebagai tanda bahwa kami menyimak. Kadang ia berorasi tentang bencana dan hikmah yang dapat kita mabil darinya, seperti apa yang kami dengan sore itu. Kadang tentang beratnya menjadi kepala rumah tangga di zaman kini. Pernah pula saya dengar ia berorasi tentang riuh rendahnya politisi berargumentasi di tv. Pendek kata, apa yang diorasikan adalah olahan dari informasi yang dia punya, diramu dengan logika dan keterampilannya dalam merebut perhatian dan sedikit juga rasa iba kita. Pada titik inilah saya berpendapat bahwa ia memang penjual yang pantas untuk saya tulis disini.
Lalu bagaimana dan kapan ia menjual jeruk-jeruknya itu? Ya, sesudah orasinya dia rasakan telah 'merasuk' dan sedikit menyita perhatian kami. Pertama-tama, dia kan meminta kami untuk mencoba jeruk jualannya. Tidak hanya kepada saya seorang, tetapi kepada mereka yang mau mencobanya. Mungkin ada dua atau empat buah jeruknya dia ikhlaskan untuk menjadi percobaan. Langkah berikutnya adalah menawarkan bahwa jeruknya yang manis itu berharga Rp 10,000 untuk delapan buah. Memang ada beberapa dari kami yang berminat membeli.
Berikutnya lagi, setelah bus telah memasuki daerah Kulon Progo, persisnya di pertigaan patung Pensil, penjula itu membanting harga. Yaitu Rp. 10,000 untuk 10 buah jeruk. Alasannya untuk menghabiskan persediaan. Dan memang jeruknya hampir saja tandas. Dan ketika bus sampai di Wates, dijualnya 12 buah jeruknya dengan harga tetap Rp. 10,000!
Dulu, saat kali pertama saya naik bus, tergiur juga untuk membeli jeruknya ketika dia menawarkan 10 buah untuk harga Rp. 10,000. Namun pada waktu yang kesekian kalinya, saya cukup paham untuk tidak cepat-cepat membeli. Setidaknya hingga menjelang akhir!
Jakarta, 3-30 Januari 2011Yang khas dari penjual jeruk di dalam bus itu selain apa yang telah saya sampaikan di atas adalah cara dia mempromosikan kepada seluruh penumpang yang nampaknya tidak begitu antusias atau bahkan cenderung terganggu. Namun ia sampaikan seperti orang sedang berorasi. Bukan tentang jeruknya yang dia jual, namun tentang hal lain.
Dan dalam orasi-orasinya itulah ia menarik perhatian kami yang sebenarnya bete, untuk sekedar mesem-mesem atau menganguk-angguk sebagai tanda bahwa kami menyimak. Kadang ia berorasi tentang bencana dan hikmah yang dapat kita mabil darinya, seperti apa yang kami dengan sore itu. Kadang tentang beratnya menjadi kepala rumah tangga di zaman kini. Pernah pula saya dengar ia berorasi tentang riuh rendahnya politisi berargumentasi di tv. Pendek kata, apa yang diorasikan adalah olahan dari informasi yang dia punya, diramu dengan logika dan keterampilannya dalam merebut perhatian dan sedikit juga rasa iba kita. Pada titik inilah saya berpendapat bahwa ia memang penjual yang pantas untuk saya tulis disini.
Lalu bagaimana dan kapan ia menjual jeruk-jeruknya itu? Ya, sesudah orasinya dia rasakan telah 'merasuk' dan sedikit menyita perhatian kami. Pertama-tama, dia kan meminta kami untuk mencoba jeruk jualannya. Tidak hanya kepada saya seorang, tetapi kepada mereka yang mau mencobanya. Mungkin ada dua atau empat buah jeruknya dia ikhlaskan untuk menjadi percobaan. Langkah berikutnya adalah menawarkan bahwa jeruknya yang manis itu berharga Rp 10,000 untuk delapan buah. Memang ada beberapa dari kami yang berminat membeli.
Berikutnya lagi, setelah bus telah memasuki daerah Kulon Progo, persisnya di pertigaan patung Pensil, penjula itu membanting harga. Yaitu Rp. 10,000 untuk 10 buah jeruk. Alasannya untuk menghabiskan persediaan. Dan memang jeruknya hampir saja tandas. Dan ketika bus sampai di Wates, dijualnya 12 buah jeruknya dengan harga tetap Rp. 10,000!
Dulu, saat kali pertama saya naik bus, tergiur juga untuk membeli jeruknya ketika dia menawarkan 10 buah untuk harga Rp. 10,000. Namun pada waktu yang kesekian kalinya, saya cukup paham untuk tidak cepat-cepat membeli. Setidaknya hingga menjelang akhir!