Dalam sebuah berita di liputan6.com yang saya baca beberapa waktu yang lalu, tetangga satu desa dengan saya telah mengkonsumsi growol sebagai pengganti nasi sebagai makanan pokok.
Liputan6 :: Warga Purworejo Mulai Makan Growol.
Mungkin perlu saya ceritakan sedikit dimana lokasi kampung Pletuk yang disebutkan dalam berita tersebut. Ia adalah kampung yang berada di bagian utara desa. Wilayah selatannya adalah kampung Jambu, wilayah tengahnya adalah Wojo, dimana orangtua saya tinggal, dan bagian timur adalah Jurangkah. Keempat kampung itu adalah bagian dari desa Dadirejo, kecamatan Bagelen, kabupaten Purworejo.
Kampung Pletuk merupakan wilayah yang berada di daerah perbukitan dan pegunungan. Wilayah ini sejak masa saya kanak-kanak hampir selalu penduduknya menanami hampir seluruh ladangnya dengan tanaman singkong. Namun pada liburan Idul Fitri tahun 2007 yang lalu, ketika saya pulang kampung dan saya berkesempatan untuk mengajak istri, adik, dan anak-anak mengunjungi Pletuk untuk sekedar melihat peninggalan Jepang dalam bentuk benteng pertahanan, daerah Pletuk sudah dirimbuni oleh tanaman keras yang laku jual. Seperti pohon mahoni, pohon jati, jambu mete yang buahnya jatuh berhamburan, pohon duwet juga dengan buah yang berhamburan di tanah, pohon sengon, dan beberapa perdu. Saya kagum dibuatnya. Tumbuhan yang tumbuh subur menjulang tersebut menghalangi pandangan kami untuk bebas melihat lurus ke arah laut selatan, Samadera Hindia. Sebuah hal yang dulu sangat mudah kami lakukan meski posisi kami masih berada di perbatasan kampung antara Jambu, Wojo, dan Pletuk. Atau bahkan saat kami berada di seberang stasiun Wojo.
Dan kembali pada pokok yang ingin saya sampaikan disini, tentang growol. Makanan apakah growol itu? Saya mencoba menjelaskannya sebagai berikut; bahwa ia sejenis makanan yang diolah dari singkong. Berbeda dengan gatot atau tiwul yang juga berasal dari singkong, growol diolah ketika singkong masih mentah dan direndam selama lebih kurang tiga hari sehingga singkong nyaris menjadi busuk dan bercita rasa bacin. Sedang tiwul dan gatot berasal dari singkong mentah yang telah di jemur hingga kering. yang kemudian kita sebut sebagai gaplek. Untuk menjadi tiwul, singkong kering atau gaplek tersebut akan ditumbuk menjadi tepung terlebih dahulu sebelum dikukus. Dan gatot, setelah gaplek tersebut di cuci, maka ketika dikukus telah siap disajikan sebagai jajanan pasar.
Tiwul dan growol, pada masa tertentu dan atau daerah tertentu, menjadi makanan pokok pengganti nasi. Hal itu saya alami ketika keluarga kami tinggal di desa Sritejikencono, kecamatan Punggur, kabupaten (dulu) Metro, Lampung pada sekitar tahun 1977. Tiwuk masih menjadi makanan pokok daerah itu. Petani yang panen padi akan menjual padinya untuk kemudian dibelikan gaplek. Dan selisih harga akan menjadi keuntungan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Nasi, mereka menyebutnya sebagai sego putih atau nasi putih. Karena tiwul relatif berwarna hitam ketika telah masak.
Sedang growol, menjadi 2/3 makanan pokok kami sekeluarga di Wojo sekitar tahun 1979. Saya katakan 2/3, karena 1/3nya kami masih menyantap nasi. Growol lebih sering tersaji saat makan pagi dan sore. Sebagai pengganti nasi, maka kamipun lengkapi dengan lauk sebagaimana kita makan.
Namun berkenaan dengan berita tentang tetangga kami yang makan growol sebagai cermin dari beratnya beban hidup, sayapun turut merakan prihatin. Prihatin tentang keadaan yang kurang menguntungkan tersebut. Juga prihatin bahwa ternyata jenis makanan pokokpun telah menjadi tolok ukur bagi pengklasifikasian harkat hidup.
Oleh karenanya saya berharap semoga masa sulit ini lekas berlalu. Dan tetangga saya di kampung itu segera menenikmati masa baik. Amin.
Jakarta, 26-30 Januari 2011.
Liputan6 :: Warga Purworejo Mulai Makan Growol.
Mungkin perlu saya ceritakan sedikit dimana lokasi kampung Pletuk yang disebutkan dalam berita tersebut. Ia adalah kampung yang berada di bagian utara desa. Wilayah selatannya adalah kampung Jambu, wilayah tengahnya adalah Wojo, dimana orangtua saya tinggal, dan bagian timur adalah Jurangkah. Keempat kampung itu adalah bagian dari desa Dadirejo, kecamatan Bagelen, kabupaten Purworejo.
Kampung Pletuk merupakan wilayah yang berada di daerah perbukitan dan pegunungan. Wilayah ini sejak masa saya kanak-kanak hampir selalu penduduknya menanami hampir seluruh ladangnya dengan tanaman singkong. Namun pada liburan Idul Fitri tahun 2007 yang lalu, ketika saya pulang kampung dan saya berkesempatan untuk mengajak istri, adik, dan anak-anak mengunjungi Pletuk untuk sekedar melihat peninggalan Jepang dalam bentuk benteng pertahanan, daerah Pletuk sudah dirimbuni oleh tanaman keras yang laku jual. Seperti pohon mahoni, pohon jati, jambu mete yang buahnya jatuh berhamburan, pohon duwet juga dengan buah yang berhamburan di tanah, pohon sengon, dan beberapa perdu. Saya kagum dibuatnya. Tumbuhan yang tumbuh subur menjulang tersebut menghalangi pandangan kami untuk bebas melihat lurus ke arah laut selatan, Samadera Hindia. Sebuah hal yang dulu sangat mudah kami lakukan meski posisi kami masih berada di perbatasan kampung antara Jambu, Wojo, dan Pletuk. Atau bahkan saat kami berada di seberang stasiun Wojo.
Dan kembali pada pokok yang ingin saya sampaikan disini, tentang growol. Makanan apakah growol itu? Saya mencoba menjelaskannya sebagai berikut; bahwa ia sejenis makanan yang diolah dari singkong. Berbeda dengan gatot atau tiwul yang juga berasal dari singkong, growol diolah ketika singkong masih mentah dan direndam selama lebih kurang tiga hari sehingga singkong nyaris menjadi busuk dan bercita rasa bacin. Sedang tiwul dan gatot berasal dari singkong mentah yang telah di jemur hingga kering. yang kemudian kita sebut sebagai gaplek. Untuk menjadi tiwul, singkong kering atau gaplek tersebut akan ditumbuk menjadi tepung terlebih dahulu sebelum dikukus. Dan gatot, setelah gaplek tersebut di cuci, maka ketika dikukus telah siap disajikan sebagai jajanan pasar.
Tiwul dan growol, pada masa tertentu dan atau daerah tertentu, menjadi makanan pokok pengganti nasi. Hal itu saya alami ketika keluarga kami tinggal di desa Sritejikencono, kecamatan Punggur, kabupaten (dulu) Metro, Lampung pada sekitar tahun 1977. Tiwuk masih menjadi makanan pokok daerah itu. Petani yang panen padi akan menjual padinya untuk kemudian dibelikan gaplek. Dan selisih harga akan menjadi keuntungan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Nasi, mereka menyebutnya sebagai sego putih atau nasi putih. Karena tiwul relatif berwarna hitam ketika telah masak.
Sedang growol, menjadi 2/3 makanan pokok kami sekeluarga di Wojo sekitar tahun 1979. Saya katakan 2/3, karena 1/3nya kami masih menyantap nasi. Growol lebih sering tersaji saat makan pagi dan sore. Sebagai pengganti nasi, maka kamipun lengkapi dengan lauk sebagaimana kita makan.
Namun berkenaan dengan berita tentang tetangga kami yang makan growol sebagai cermin dari beratnya beban hidup, sayapun turut merakan prihatin. Prihatin tentang keadaan yang kurang menguntungkan tersebut. Juga prihatin bahwa ternyata jenis makanan pokokpun telah menjadi tolok ukur bagi pengklasifikasian harkat hidup.
Oleh karenanya saya berharap semoga masa sulit ini lekas berlalu. Dan tetangga saya di kampung itu segera menenikmati masa baik. Amin.
Jakarta, 26-30 Januari 2011.
No comments:
Post a Comment