Ini kisah kampungan saya yang lain lagi. Saya lebih senang menyebutnya kampungan, karena kebetulan saya memang asli anak kampung. Jadi pas kan? Yaitu yang berkenaan dengan pengalaman saya untuk menggunakan barang atau alat baru, yang sebelumnya belum pernah saya menemukannya, mengenalnya atau bahkan menggunakannya. Misalnya saja saat pertama kali saya datang ke Jakarta pada tahun 1984 dan harus naik ke lantai 4 sebuah gedung yang ada di Jalan Asemka, Jakarta Barat, dengan tujuan melamar pekerjaan.
Di depan pintu gedung, tersedia lift. Namun karena mental kampungan saya itu, maka saya mencoba untuk menunggu orang yang akan menggunakan lift tersebut. beberapa detik saya berdiri di depan lobby, orang yang akan menggunakan lift yang mungkin saya bisa nebeng tak kunjung datang, mata saya jelalatan untuk mencari tangga. Tangga saya temukan dan tanpa membuang waktu saya buka pintunya dan saya naiki tangga itu. Dalam otak saya tersirat pikiran bahwa betapa manjanya orang kota. Untuk naik ke lantai 4 saja harus menggunakan lift. Dan sikap manja itu justru merugikan saya yang dari kampung dan tidak familier dengan teknologi lift. Tiba-tiba saya berpikir bahwa dunia ini tidak adil. Sampai di lantai 4, ternyata harus ada form yang harus saya isi sebelum proses wawancara dilakukan. Dan akhir kata, saya tidak diterima sebagai karyawan di kantor lantai empat itu.
Beberapa tahun kemudian, lift tetap menjadi teknologi yang tidak bersahabat dengan saya. Karena pada akhirnya saya menjadi guru di sekolah dasar yang tinggi bangunannya hanya dua lantai. Dan setelah berjalan waktu, saya hanya akrab dengan eskalator yang ada di Plasa Aldiron dan Plasa Sarinah di bilangan Blok M. Tempat dimana saya menghabiskan akhir pekan bersama teman saat itu.
Pada perjalanan hidup berikutnya, saya mengenal pesawat terbang. Bagaimana prosedur naik pesawat yang dulu tidak terbayang, saya alami juga. Namun setelah berulang kali naik pesawatpun, ada kesengsaraan yang secara sengaja saya ciptakan dan saya alami sendiri. Yaitu menahan pipis. Bukan karena sebagai latihan untuk tahan tetapi, sekali lagi penyakit kampungan saya, malu kalau-kalau orang lain melihat bahwa saya tidak bisa membuka pintu toiletnya. Cis! Norak sekali saya ini.
Penyakit takut pergi ke toilet saat pesawat mengudara, berhasil saya perangi ketika saya mampu mengusir perasaan malu saat orang lain tahu bahwa saya belum bisa. Bahkan justru ketika saya tidak tahu bagaimana membuka pintu toilet, saya bertanya bagaiamana cara membuka pintu ini kepada siapa saya yang dekat dengan diri saya kala itu. Mungkin kepada penumpang lain yang ada di antrian belakang atau kepada pramugari yang kebetulan ada di dekat itu. Dan dengan bertanya tentang apa yang saya tidak tahu atau belum bisa kepada orang lain, saya menjadi percaya diri. Dan rasa malu itu tiba-tiba sirna.
Dari titik itulah saya punya kesimpulan bahwa rasa malu saya untuk pipis dan akhirnya takut pergi ke toilet saat di pesawat adalah karena rasa gengsi saya sendiri. Yaitu gengsi kalau-kalau orang lain tahu bahwa saya ngak bisa. Gengsi kalau-kalau orang lain tahu bahwa saya bukan orang pintar. Dan rasa gengsi serta malu itu, menjebak saya untuk benar-benar tidak berkembang. Meski hanya untuk naik lift atau masuk toilet! Celakanya saya dengan rasa gengsi itu.
Jakarta, 13 Nopember 2010/6 Dzulhijjah 1431 H.
Di depan pintu gedung, tersedia lift. Namun karena mental kampungan saya itu, maka saya mencoba untuk menunggu orang yang akan menggunakan lift tersebut. beberapa detik saya berdiri di depan lobby, orang yang akan menggunakan lift yang mungkin saya bisa nebeng tak kunjung datang, mata saya jelalatan untuk mencari tangga. Tangga saya temukan dan tanpa membuang waktu saya buka pintunya dan saya naiki tangga itu. Dalam otak saya tersirat pikiran bahwa betapa manjanya orang kota. Untuk naik ke lantai 4 saja harus menggunakan lift. Dan sikap manja itu justru merugikan saya yang dari kampung dan tidak familier dengan teknologi lift. Tiba-tiba saya berpikir bahwa dunia ini tidak adil. Sampai di lantai 4, ternyata harus ada form yang harus saya isi sebelum proses wawancara dilakukan. Dan akhir kata, saya tidak diterima sebagai karyawan di kantor lantai empat itu.
Beberapa tahun kemudian, lift tetap menjadi teknologi yang tidak bersahabat dengan saya. Karena pada akhirnya saya menjadi guru di sekolah dasar yang tinggi bangunannya hanya dua lantai. Dan setelah berjalan waktu, saya hanya akrab dengan eskalator yang ada di Plasa Aldiron dan Plasa Sarinah di bilangan Blok M. Tempat dimana saya menghabiskan akhir pekan bersama teman saat itu.
Pada perjalanan hidup berikutnya, saya mengenal pesawat terbang. Bagaimana prosedur naik pesawat yang dulu tidak terbayang, saya alami juga. Namun setelah berulang kali naik pesawatpun, ada kesengsaraan yang secara sengaja saya ciptakan dan saya alami sendiri. Yaitu menahan pipis. Bukan karena sebagai latihan untuk tahan tetapi, sekali lagi penyakit kampungan saya, malu kalau-kalau orang lain melihat bahwa saya tidak bisa membuka pintu toiletnya. Cis! Norak sekali saya ini.
Penyakit takut pergi ke toilet saat pesawat mengudara, berhasil saya perangi ketika saya mampu mengusir perasaan malu saat orang lain tahu bahwa saya belum bisa. Bahkan justru ketika saya tidak tahu bagaimana membuka pintu toilet, saya bertanya bagaiamana cara membuka pintu ini kepada siapa saya yang dekat dengan diri saya kala itu. Mungkin kepada penumpang lain yang ada di antrian belakang atau kepada pramugari yang kebetulan ada di dekat itu. Dan dengan bertanya tentang apa yang saya tidak tahu atau belum bisa kepada orang lain, saya menjadi percaya diri. Dan rasa malu itu tiba-tiba sirna.
Dari titik itulah saya punya kesimpulan bahwa rasa malu saya untuk pipis dan akhirnya takut pergi ke toilet saat di pesawat adalah karena rasa gengsi saya sendiri. Yaitu gengsi kalau-kalau orang lain tahu bahwa saya ngak bisa. Gengsi kalau-kalau orang lain tahu bahwa saya bukan orang pintar. Dan rasa gengsi serta malu itu, menjebak saya untuk benar-benar tidak berkembang. Meski hanya untuk naik lift atau masuk toilet! Celakanya saya dengan rasa gengsi itu.
Jakarta, 13 Nopember 2010/6 Dzulhijjah 1431 H.
No comments:
Post a Comment