Mungkin ada yang berpendapat bahwa untuk berubah atau melakukan perubahan diri dari satu titik koordinat menuju titik yang lain adalah sebuah hal yang mudah. Tapi saya sendiri justru punya pendapat berbeda. Setidaknya ada perjuangan yang harus saya komitmenkan untuk menjalankan viri baru saya. Yaitu perubahan pada pola pembelajaran atau interaksi instruksional di dalam proses belajar dengan siswa.
Jadi yang saya maksud adalah perubahan pada budaya pembelajaran saya. Dan tidak saja perubahan pada cara pandang, konsepsi, dan paradigma. Tetapi masuk dalam tataran budaya dan menjadi etos dalam berperilaku yang saya harus ejawantahkan secara operasional. Meski untuk menjadi itu kita butuh landasan pacu yang berupa paradigma, konsepsí, pemahaman, dan juga komitmen.
Ceramah, Latihan, Ulangan
Itulah pola pembelajaran yang hampir selalu saya jalani sepanjang memegang otoritas di kelas sepanjang 11 tahun karir saya menjadi guru SD menjelang tahun 90an. dengan jumlah siswa hingga 45 dalam satu kelasnya. Maka menjadi guru kelas adalah memberikan seluruh materi pelajaran di luar materi yang ada dalam mata pelajaran olah raga dan agama, menjadi kewajiban saya.
Masuk kelas dengan terlebih dahulu mengecek buku penghubung atau buku komunikasi dan juga pekerjaan rumah yang telah tersusun dengan rapi di meja baris paling depan adalah rutinitas yang saya terapkan kepada siswa saya menjelang usianya ke-7 tahun.
Masuk pada mata pelajaran, saya akan menguraikan materi yang menjadi target tuntas pada hari itu. Tentunya dengan tetap berdirí di depan kelas dan sesekali membuat ilusttasi di papan tulis. Siang menjelang pulang sekolah, siswa akan membuka buku komunikasi guna menuliskan tugas pekerjaan rumah atau pr. Pekan depan, saya akan memberikan ulangan untuk meteri pelajaran itu.
Semua itu berangkat darí cara kerja yang melihat diri saya sebagai pusat. Dan bukan siswa atau anak didik saya. Di pihak lain, pengalaman lama mengajar dengan etos yang selama ini harus saya ‘ubah’, adalah bentuk pemaknaan saya atas apa yang dikemudian hari teman saya katakan dengan istilah: year of experience versus year of learning.
Saya memaknainya: bahwa lamanya saya menjalani profesi sebagai guru (lebih kurang saat itu 11 tahun), adalah kumpulan tahun yang menjadi tahun pengalaman saya bekerja dan belum belajar. Karena apa yang saya lakukan pada tahun perjalanan profesi saya yang ke-11 sangat boleh jadi adalah pengulangan apa yang saya lakukan di tahun pertama!
Siswa sebagai Pusat
Bagaimana saya selalu harus melihat bahwa siswalah yang harus menjadi fokus. Bagaimana? Ya kadang saat lesson plan meeting, datang pertanyaan kepada saya waktu itu; Apa yang akan dilakukan siswa saat Bapak menjelaskan tentang bunga? Apakah siswa tidak bosan karena tidak mndapat porsi untuk melakukan ? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang justru membuat otak saya berpikir dan terberdayakan. Bagaimana saya melayani siswa saya? Kata saya sendiri dikemudian hari sebelum materi pelajaran itu tertuang dalam strategi belajar yang kami diskusikan esok harinya.
Apakah dengan demikian lalu sertamerta pembelajaran di kelas berubah secara total? Kadang ya. Yaitu saat saya menemukan ide strategi belajar yang saya dapat dari buku referensi, atau juga dari kawan yang murah hati memberikan ilmunya kepada saya. Namun kadang juga tidak. Tentu saat saya benar-benar tidak menemukannya. Dan proses menuju ke titik itu secara terus menerus tetap saya jalani dengan penuh gairah.
Hingga saya menemukan pola kerja bahwa pembelajaran dengan persiapan yang matang, akan membuat kita sebagai guru di dalam kelas akan berdiri sebagai moderator dan fasilitator. Di depan saya akan menyampaikan penjelasan tentang apa yang akan kita pelajari hari ini dan langkah untuk mempelajarinya. Dan dalam prosesnya, siswa akan melakukan apa yang menjadi panduan belajar tersebut, dan memenuhi target yang telah disepakati. Saya akan dapat menikmati proses itu. Tentunya tidak sepanjang waktu saya harus menyampaikan informasi tentang apa yang harus siswa kuasai.
Itulah sedikit gambaran peta perjalanan saya tentang memposisikan siswa dalam pembelajaran. Meski akhirnya saya tidak langsung lagi memegang kelas, tetapi kebahagiaan sebagai guru tak akan pernah terhapus. Alhamdulillah.
Jakarta, 7 Nopember 2010.
No comments:
Post a Comment