Berkidmat sebagai guru untuk generasi remaja sekarang ini menjadi terasa lebih berat. Tidak saja karena remaja sekarang adalah generagi native bagi dunia yang terhubung sangat erat dan akrab dengan teknologi informasi internet, tetapi lebih dari itu, mereka juga adalah generasi yang berlimpah kemudahan. Di rumah-rumah mereka, nyaris tidak ada kegiatan yang harus dilakukan secara mandiri selain mengerjakan pekerjaan yang berkait langsung dengan sekolahnya seperti belajar. Bahkan untuk inipun orangtua mereka tidak jarang memanggil guru privat.
Setidaknya fenomena inilah yang saya alami dengan tugas saya sebagai pendidik di lembaga sekolah formal. Dimana siswa saya menjadi sangat prakmatis dalam mencapai harapan yang diinginkannya. Sikap prakmatis ini juga merembet kepada cara berpikirnya, cara bersikapnya dan kemudian dalam pola hidupnya.
Dan dalam asumsi saya, semua kemudahan yang telah didapatnya setiap saat itu telah membelenggunya untuk menjadi pragmatis. Namun apakah dengan keadaan peserta didik yang demikian ini menjadikan saya sebagai pendidik ciut nyali lalu mengemukakan keluhan? Saya ingin tegaskan disini bahwa, sama sekali tidak. Setelah menjalani profesi ini sejak tahun 1984 tanpa jeda, saya justru mensyukuri karunia ini. Bahwa Allah telah memilihkan profesi yang menurut saya sangat mulia ini. Profesi yang memungkinkan bagi saya untuk menanam kapital kebajikan dan sekaligus jariyah. Suatu hal yang saat diawal menjalaninya tidak sampai dalam pikiran saya.
Tulisan saya bermaksud untuk mengajak pembaca semua dapat melihat secara jelas dan tegas bahwa betapa sikap pragmatis itu telah juga merasuk kepada sikap materialis. Yang sudah melekat dalam pola síkap dan hidup generasi penerus kita. yaitu sikap yang memandang bahwa kecukupan materi adalah sebuah alat dan sekaligus tujuan hidup. Meski itu dalam relasi keluarga, antara ayah, ibu, dan anak. Kehangatan dan kasih sayang yang seharusnya menjadi fondasi utama telah bergeser menjadi bukan prioritas pertama. Pola pragmatis telah menggeser nilai kehangatan menjadi kebendaan (baca: materialis).
Setidaknya inilah penemuan orisinal bagi kami yang menjadi peserta seminar di Kelapa Gading, yang mengangkat tema: Jejaring Sosial dan Salah Sambung. Sebuah acara bagi keluarga yang digagas oleh Pengurus POMG SMP Islam TUGASKU Pulomas Jakarta, Pada Sabtu, 2 Oktober 2010.
Penemuan ini diawali oleh pembicara yang meminta peserta yang merupakan siswa untuk naik ke panggung dan menceritakan dua hal tentang orangtua mereka masing- masing. Yaitu tentang apa yang mereka suka dan tidak suka dari orangtua mereka. Beberapa anak yang duduk di bangku kelas 7, 8, dan 9 SMP itu masing-masing mengemukakan pendapatnya tentang otangtua mereka.
Bebetapa yang tidak disuka anak-anak dari orangtuanya antara lain adalah kurangnya perhatian. Hal ini misalnya, kata salah seorang diantara mereka adalah ketika mereka mengajak orangtuanya berkomunikasi, para orangtua tidak focus saat melakukan komunikasi tersebut. Kadang saat berkomunikasi orangtua tetap asyik dengan BB-nya.
Sementara yang berkenaan dengan apa yang anak suka dari para orangtuanya, mayoritas anak yang ada mengatakan bahwa mereka suka karena orangtua mereka membelikan sesuatu yang menjadi kebutuhan sekundernya. Misalnya dengan membelikan hp model terkini atau sepatu atau barang dalam bentuk lainnya.
Meski penemuan itu bersifat lokal, namun cukup membuat saya sebagai pendidik merasa prihatin. Keprihatinan itu beralasan karena jika realitas itu dikonfrontir dengan pertanyaan berikut: Lalu apa kontribusi Anda pada pendidikan akhlak di sekolah terhadap sikap meterialis tersebut?
Namun sekali lagi, ini baru menjadi masalah jika sikap materialis itu merupakan gangguan atau merupakan pola sikap yang tidak seharusnya terjadi. Karena saya menyadari bahwa tidak setiap kita sepakat melihat bahwa hal itu adalah bentuk sikap yang tidak sepatutnya. Sebagian kita punya pendapat berbeda. Misalnya: Biarkan anak saya bahagia, saya dulu telah menderita, sekarang giliran anak jangan menderita kekurangan apapun. Padahal situasi ‘sulit’ yang dulu kita hadapi telah mampu membuat kita sebagai problem solver.
Allahua'lám bi shawab.
Jakarta, 20-21 Nopember 2010
No comments:
Post a Comment