Sabtu, 5 Desember 2009, saya bertemu dan berdiskusi panjang lebar tentang pendidikan dengan Bapak Raja Sofyan yang adalah Pengawas SMP di Tanjung Pinang. Beliau menceritakan bagaimana waktu awal menjadi guru Agama puluhan tahun yang lalu. Cerita tentang para kepala sekolahnya.
Ada kepala sekolahnya yang baik dan sukses membawa sekolah yang disiplin dan 'berbeda' meski untuk berbeda tersebut sang kepala sekolah sering harus berkorban secara pribadi. Namun sebaik apapun prestasi tersebut tetap saja ada guru yang tidak memahaminya atau bahkan kurang menyukainya.
Ada kepala sekolahnya yang baik dan sukses membawa sekolah yang disiplin dan 'berbeda' meski untuk berbeda tersebut sang kepala sekolah sering harus berkorban secara pribadi. Namun sebaik apapun prestasi tersebut tetap saja ada guru yang tidak memahaminya atau bahkan kurang menyukainya.
Lalu datang lagi kapala sekolah baru yang menurutnya memiliki kompetensi di bawah dari kepala sekolah sebelumnya. Lalu, datang lagi model kepala sekolah lain di sekolahnya. Hingga akhirnya para guru berpikir bahwa kepala sekolahnya yang pertama adalah kepala sekolah terbaik bagi mereka. Dan mereka sadar bahwa baik dan tidak, bagus dan tidak, profesional dan tidak, setelah mereka memiliki tiga kepala sekolah yang berbeda. Setelah mereka memiliki pembanding.
Ada lagi cerita yang berbeda, yaitu perbandingan antara teman guru yang telah memiliki pengalaman sebagai guru yang mengajar di beberapa sekolah, tetapi bukan model guru kutu loncat yang berpindah setiap tahun pelajaran baru, dengan guru yang menetap di satu sekolah untuk kurun waktu yang panjang, dalam mensyukuri apa yang ada.
Teman yang pernah bekerja di institusi berbeda akan memiliki kemampuan lebih mudah memahami situasi terhadap sekolahnya. Dan menurut pendapat saya hal ini karena mereka telah memiliki pembanding. Sehingga pemahaman terhadap plus dan minus yang lahir dalam sebuah lembaga dapat segera diperbandingkan. Sedang bagi yang tidak memiliki pembanding sedikit sulit membuat tolok ukur obyektif. Semua dilihatnya dari kaca mata yang lurus.
Dan dalam pengembangan sekolah pun, pembanding merupakan suatu hal yang luar biasa penting. Sekolah, guru, orangtua siswa atau siapa saja yang menilai diri tanpa membuat pembanding ( dalam ranah penilitian, pembanding harus yang setara ), akan mengalami situasi bangga diri yang tidak pada lokasinya. Karena ia merasakan sesuatu hanya dalam angan-angan sendiri. Padahal dalam waktu yang bersamaan orang sedang melihat dia dalam situasi keprihatinan.
Inilah yang oleh beberapa manajemen sekolah menjadikan studi banding sebagai bagian dari pengembangan sebuah sekolah. Karena dari kunjungan tersebut kita akan dimampukan untuk melihat bagaimana sekolah lain atau orang lain berusaha dan berikhtiar menjalani program yang menurut mereka unggul.
Untuk itulah maka penting bagi kita melihat semua situasi yang ada dengan tolok ukur dan pembanding yang relevan. Dan jangan sampai kita sedang membandingkan sekolah yang jumlah siswanya 25 setiap kelas dengan sekolah dengan jumlah siswa 34 tiap kelasnya dalam soal uang sekolah, misalnya. Karena itu sama saja kita membandingkan buah durian dengan buah jeruk.
Jakarta, 7 Desember 2009.
Ada lagi cerita yang berbeda, yaitu perbandingan antara teman guru yang telah memiliki pengalaman sebagai guru yang mengajar di beberapa sekolah, tetapi bukan model guru kutu loncat yang berpindah setiap tahun pelajaran baru, dengan guru yang menetap di satu sekolah untuk kurun waktu yang panjang, dalam mensyukuri apa yang ada.
Teman yang pernah bekerja di institusi berbeda akan memiliki kemampuan lebih mudah memahami situasi terhadap sekolahnya. Dan menurut pendapat saya hal ini karena mereka telah memiliki pembanding. Sehingga pemahaman terhadap plus dan minus yang lahir dalam sebuah lembaga dapat segera diperbandingkan. Sedang bagi yang tidak memiliki pembanding sedikit sulit membuat tolok ukur obyektif. Semua dilihatnya dari kaca mata yang lurus.
Dan dalam pengembangan sekolah pun, pembanding merupakan suatu hal yang luar biasa penting. Sekolah, guru, orangtua siswa atau siapa saja yang menilai diri tanpa membuat pembanding ( dalam ranah penilitian, pembanding harus yang setara ), akan mengalami situasi bangga diri yang tidak pada lokasinya. Karena ia merasakan sesuatu hanya dalam angan-angan sendiri. Padahal dalam waktu yang bersamaan orang sedang melihat dia dalam situasi keprihatinan.
Inilah yang oleh beberapa manajemen sekolah menjadikan studi banding sebagai bagian dari pengembangan sebuah sekolah. Karena dari kunjungan tersebut kita akan dimampukan untuk melihat bagaimana sekolah lain atau orang lain berusaha dan berikhtiar menjalani program yang menurut mereka unggul.
Untuk itulah maka penting bagi kita melihat semua situasi yang ada dengan tolok ukur dan pembanding yang relevan. Dan jangan sampai kita sedang membandingkan sekolah yang jumlah siswanya 25 setiap kelas dengan sekolah dengan jumlah siswa 34 tiap kelasnya dalam soal uang sekolah, misalnya. Karena itu sama saja kita membandingkan buah durian dengan buah jeruk.
Jakarta, 7 Desember 2009.
No comments:
Post a Comment