Jika mengingat tetangga sebelah rumah saya waktu di desa, saya selalu menggumankan terima kasih dan syukur. Syukur akan kontribusinya terhadap perjalanan hidup saya berikutnya.
Karena dialah orang yang pertama sekali, saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SMP, diajaknya pergi ke sawah untuk menjadi buruh cangkul. Petani.
Dan setelah sekian kali bersamanya, saya diberikannya uang sebagai upah kerja. Dan karena saya juga harus bersekolah di siang hari, maka pekerjaan mencangkul di sawah hanya saya jalani di pagi hari hingga menjelang bedug (istilah untuk waktu Dzuhur).
Bekerja dalam paruh waktu memang bukan menjadi pilihan saya, meski keluarga saya berasal dari desa yang sama, dan ketika kembali ke desa setelah ayah mengajak kami merantau di Punggur, Metro, Lampung Tengah, tanpa memiliki lahan persawahan. Namun kepedulian tetangga saya untuk 'memberikan' jalan agar saya memiliki pendapatan tambahan uang dan juga kemahiran dalam berjuang, adalah bentuk kontribusi yang selalu saya syukuri. Sebuah bentuk nyata kepedulian dalam momen perjalanan hidup yang tidak akan mungkin saya lupakan hingga sekarang.
Kemurahan hati dan pemahaman dia untuk memberikan kesempatan kepada saya mencangkul di sawahnya dengan kualitas cangkulan yang sangat mungkin belum baik dan kemampuan serta ketahanan yang belum juga pantas diberikan bayaran bagi petani pemula seperti saya kala itu, adalah pengambilan keputusan yang berani.
Mengapa? Menurut saya, jika tanpa kemurahan hati dan pemahaman, dia tentu tidak akan memilih saya yang pemula ini untuk mengerjakan sawahnya. Selain kualitas tanah yang dicangkul juga ketahanan fisik saya yang masih lemah. Fisik saya yang tidak pernah mencangkul secara profesional tentu tidak mendukung untuk menghasilkan tenaga yang baik. Juga alat yang saya punya, adalah cangkul untuk perladangan dan bukan persawahan. Cangkul saya akan selalu menimbulkan cipratan air, yang kadang muncrat hingga ke muka saya sendiri. Ini karena cangkul saya tidak dilapisi baja supaya kalis hingga tanah selalu menempel di ujung cangkul ketika cangkul itu saya tarik.
Dan dalam kadar yang berbeda, guru muda, yaitu guru yang belum memiliki jam terbang yang cukup juga memiliki indikasi seperti kala saya menjadi buruh tani waktu itu. Dan ketika saya merefleksikan dengan apa yang pernah saya alami sendiri puluhan tahun yang lalu, maka pemahaman dan keterbukaan hati atas kekurangan terhadap dirinya yang sedang tumbuh, yang dapat menjadi kunci bagi kemajuan dan keberhasilan perjalanan hidup mereka.
Tanpa itu, mereka akan pergi dan mungkin akan menjadi guru atau pekerja handal di kemudian hari, dan kita tidak memiliki kontribusi bagi kesuksesan mereka. Inilah buah yang dapat kita dapatkan ketika kita memberikan kesempatan, keluasan pemahaman, dan kecukupan bantuan bagi yang sedang mengembangkan kehidupan.
Jakarta, 8 Desember 2009.
Karena dialah orang yang pertama sekali, saat saya masih duduk di bangku kelas 2 SMP, diajaknya pergi ke sawah untuk menjadi buruh cangkul. Petani.
Dan setelah sekian kali bersamanya, saya diberikannya uang sebagai upah kerja. Dan karena saya juga harus bersekolah di siang hari, maka pekerjaan mencangkul di sawah hanya saya jalani di pagi hari hingga menjelang bedug (istilah untuk waktu Dzuhur).
Bekerja dalam paruh waktu memang bukan menjadi pilihan saya, meski keluarga saya berasal dari desa yang sama, dan ketika kembali ke desa setelah ayah mengajak kami merantau di Punggur, Metro, Lampung Tengah, tanpa memiliki lahan persawahan. Namun kepedulian tetangga saya untuk 'memberikan' jalan agar saya memiliki pendapatan tambahan uang dan juga kemahiran dalam berjuang, adalah bentuk kontribusi yang selalu saya syukuri. Sebuah bentuk nyata kepedulian dalam momen perjalanan hidup yang tidak akan mungkin saya lupakan hingga sekarang.
Kemurahan hati dan pemahaman dia untuk memberikan kesempatan kepada saya mencangkul di sawahnya dengan kualitas cangkulan yang sangat mungkin belum baik dan kemampuan serta ketahanan yang belum juga pantas diberikan bayaran bagi petani pemula seperti saya kala itu, adalah pengambilan keputusan yang berani.
Mengapa? Menurut saya, jika tanpa kemurahan hati dan pemahaman, dia tentu tidak akan memilih saya yang pemula ini untuk mengerjakan sawahnya. Selain kualitas tanah yang dicangkul juga ketahanan fisik saya yang masih lemah. Fisik saya yang tidak pernah mencangkul secara profesional tentu tidak mendukung untuk menghasilkan tenaga yang baik. Juga alat yang saya punya, adalah cangkul untuk perladangan dan bukan persawahan. Cangkul saya akan selalu menimbulkan cipratan air, yang kadang muncrat hingga ke muka saya sendiri. Ini karena cangkul saya tidak dilapisi baja supaya kalis hingga tanah selalu menempel di ujung cangkul ketika cangkul itu saya tarik.
Dan dalam kadar yang berbeda, guru muda, yaitu guru yang belum memiliki jam terbang yang cukup juga memiliki indikasi seperti kala saya menjadi buruh tani waktu itu. Dan ketika saya merefleksikan dengan apa yang pernah saya alami sendiri puluhan tahun yang lalu, maka pemahaman dan keterbukaan hati atas kekurangan terhadap dirinya yang sedang tumbuh, yang dapat menjadi kunci bagi kemajuan dan keberhasilan perjalanan hidup mereka.
Tanpa itu, mereka akan pergi dan mungkin akan menjadi guru atau pekerja handal di kemudian hari, dan kita tidak memiliki kontribusi bagi kesuksesan mereka. Inilah buah yang dapat kita dapatkan ketika kita memberikan kesempatan, keluasan pemahaman, dan kecukupan bantuan bagi yang sedang mengembangkan kehidupan.
Jakarta, 8 Desember 2009.
No comments:
Post a Comment