Sebagai manusia biasa, rasa bosan kadang menghinggapi diri saya. Yaitu perasaan untuk melakukan sesuatu dalam situasi dan kondisi yang rutin dalam rentang waktu tertentu. Dan kebosanan itu sering pula menimpa tidak saja pada suatu kegiatan yang menjadi hobi, tetapi juga dalam menapaki dan menunaikan amanah yang saya jalani dan menjadi profesi yang saya pilih.
Padahal 100 % saya menyadari bahwa, kebosanan ini memiliki implikasi yang tidak sedikit. Misalnya saja soal pendapatan yang menjadi penopang untuk hidup bersama keluarga. Dan alhamdulillah dengan menjadikan poin ini sebagai bahan pertimbangan ketika bosan menjangkiti saya, saya menjadi lebih kuat bertahan. Bertahan menjalani hari-hari yang telah Allah anugerahkan pada saya, yang juga berarti bertahan untuk terus memperoleh rizky-Nya.
Meski demikian, lahan pengabdian baru yang lebih membahagiakan jiwa dan nurani selalu saja menjadi bagian dari masa depan yang harus saya perjuangkan. Bagaimanapun bentuknya itu. Kadang terpikir untuk menerima tawaran sebagaimana yang telah menjadi anugerah Allah di lembaga yang berbeda. Tetapi apa yang saya cari? Dan kadang terpikir juga bagaimana saya mampu membuat sesuatu yang menjadikan orang lain yang ada di sekitar saya sebagai bagiannya. Tetapi keraguan akan kemampuan justru menjadi penghalang untuk melangkahkan kaki memulainya.
Hingga, beberapa waktu lalu SMS dari sahabat yang memberikan balasan atas SMS saya sebelumnya, yang mengabarkan bahwa ia telah 'pensiun' menjadi guru. Ini agak mengagetkan saya. Karena sejak lulus SPG tahun 1984 ia langsung menjadi guru di sekolah favorit di perumahan paling elit di Jakarta Selatan. Bahkan, sejujurnya pada tahun 1985 itu, iri hati sempat bergelayut pada diri saya melihat laju kehidupan yang telah diraih teman saya itu.
Lebih kaget lagi bahwa, teman saya ini juga sedang sibuk mencari pengacara untuk urusan 'pensiun'nya itu. Maka sebagai sahabat saya mencoba untuk menuliskan kalimat empati dan dorongan untuknya.
Mengapa pensiun?
Ya, mengapa pensiun? Kata saya kepada teman saya. Ia menjawab bahwa: Ia menolak untuk menjadi bagian dari lembaganya, yang telah menjadi bagian dari pengamalan ilmunya sebagai guru sejak lulus SPG tahun 1984 hingga Juni 2009 lalu.
Mengapa tidak senang? Karena sebagai guru yang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas harus ia tanggalkan untuk kemudian menjadi sebagai pustakawan. Dan sebagai protes, ia memilih mengundurkan diri.
Saya termenung dengan kisah sahabat tersebut. Beberapa hikmah yang mampu saya cerna dari kisahnya itu antara lain: Pertama, Saya harus belajar untuk tidak mudah menjadi bosan dalam mengemban sebuah amanah. Karena mengemban amanah bagi saya adalah bekerja. Dan bekerja adalah beramal saleh dan menafkahi keluarga. Sahabat saya memang tidak bosan menjadi guru, tetapi ladang amal salehnya sebagai guru sudah pensiun (terputus). Juga nafkah keluarga melalui pengabdiannya selama ini.
Kedua, Saya harus melihat apa yang ingin Allah sampaikan kepada saya melalui seluruh aktivitas dalam setiap kehidupan ini. Dan protes sebagai reaksi dari apa yang sahabat saya lakukan adalah bentuk mengingkari hikmah yang ada di balik menjadi pustakawan. Meski hikmah itu sulit dan kadang pahit.
Ketiga, Semoga saya selalu menyadari siapa saya dalam konstelasi sosial. Baik konstelasi sosial yang bernama sekolah khususnya atau dalam bentuk dan ranah yang lain. Karena hanya dengan pemahaman diri seperti inilah menurut saya yang akan menyelamatkan masa depan kita.
Saya berpikir, jika sahabat saya ini memiliki pemikiran jujur tentang siapa dirinya dalam era yang ada di lembaganya sehingga ia harus menjadi pustakawan, maka ia akan jauh memiliki sifat dan karakter waspada dalam menumbuhkan jiwa dan kompetensi profesionalismenya di bidang yang telah menjadi bagian hidupnya.
Jakarta, 19 November 2009.
Padahal 100 % saya menyadari bahwa, kebosanan ini memiliki implikasi yang tidak sedikit. Misalnya saja soal pendapatan yang menjadi penopang untuk hidup bersama keluarga. Dan alhamdulillah dengan menjadikan poin ini sebagai bahan pertimbangan ketika bosan menjangkiti saya, saya menjadi lebih kuat bertahan. Bertahan menjalani hari-hari yang telah Allah anugerahkan pada saya, yang juga berarti bertahan untuk terus memperoleh rizky-Nya.
Meski demikian, lahan pengabdian baru yang lebih membahagiakan jiwa dan nurani selalu saja menjadi bagian dari masa depan yang harus saya perjuangkan. Bagaimanapun bentuknya itu. Kadang terpikir untuk menerima tawaran sebagaimana yang telah menjadi anugerah Allah di lembaga yang berbeda. Tetapi apa yang saya cari? Dan kadang terpikir juga bagaimana saya mampu membuat sesuatu yang menjadikan orang lain yang ada di sekitar saya sebagai bagiannya. Tetapi keraguan akan kemampuan justru menjadi penghalang untuk melangkahkan kaki memulainya.
Hingga, beberapa waktu lalu SMS dari sahabat yang memberikan balasan atas SMS saya sebelumnya, yang mengabarkan bahwa ia telah 'pensiun' menjadi guru. Ini agak mengagetkan saya. Karena sejak lulus SPG tahun 1984 ia langsung menjadi guru di sekolah favorit di perumahan paling elit di Jakarta Selatan. Bahkan, sejujurnya pada tahun 1985 itu, iri hati sempat bergelayut pada diri saya melihat laju kehidupan yang telah diraih teman saya itu.
Lebih kaget lagi bahwa, teman saya ini juga sedang sibuk mencari pengacara untuk urusan 'pensiun'nya itu. Maka sebagai sahabat saya mencoba untuk menuliskan kalimat empati dan dorongan untuknya.
Mengapa pensiun?
Ya, mengapa pensiun? Kata saya kepada teman saya. Ia menjawab bahwa: Ia menolak untuk menjadi bagian dari lembaganya, yang telah menjadi bagian dari pengamalan ilmunya sebagai guru sejak lulus SPG tahun 1984 hingga Juni 2009 lalu.
Mengapa tidak senang? Karena sebagai guru yang mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia di kelas harus ia tanggalkan untuk kemudian menjadi sebagai pustakawan. Dan sebagai protes, ia memilih mengundurkan diri.
Saya termenung dengan kisah sahabat tersebut. Beberapa hikmah yang mampu saya cerna dari kisahnya itu antara lain: Pertama, Saya harus belajar untuk tidak mudah menjadi bosan dalam mengemban sebuah amanah. Karena mengemban amanah bagi saya adalah bekerja. Dan bekerja adalah beramal saleh dan menafkahi keluarga. Sahabat saya memang tidak bosan menjadi guru, tetapi ladang amal salehnya sebagai guru sudah pensiun (terputus). Juga nafkah keluarga melalui pengabdiannya selama ini.
Kedua, Saya harus melihat apa yang ingin Allah sampaikan kepada saya melalui seluruh aktivitas dalam setiap kehidupan ini. Dan protes sebagai reaksi dari apa yang sahabat saya lakukan adalah bentuk mengingkari hikmah yang ada di balik menjadi pustakawan. Meski hikmah itu sulit dan kadang pahit.
Ketiga, Semoga saya selalu menyadari siapa saya dalam konstelasi sosial. Baik konstelasi sosial yang bernama sekolah khususnya atau dalam bentuk dan ranah yang lain. Karena hanya dengan pemahaman diri seperti inilah menurut saya yang akan menyelamatkan masa depan kita.
Saya berpikir, jika sahabat saya ini memiliki pemikiran jujur tentang siapa dirinya dalam era yang ada di lembaganya sehingga ia harus menjadi pustakawan, maka ia akan jauh memiliki sifat dan karakter waspada dalam menumbuhkan jiwa dan kompetensi profesionalismenya di bidang yang telah menjadi bagian hidupnya.
Jakarta, 19 November 2009.
No comments:
Post a Comment