Sedang sibuk Pak? Suara telepon di seberang. Pagi, masih pukul 10.00 di hari kerja.
Apakah mengganggu saya menelepon Bapak?
Saya menjawab beberapa pertanyaan basa-basinya sembari berpikir siapa gerangan pemilik suara tersebut. Dan ketika identitas penelepon dapat ditemukan dalam memori, saya segera menanggapi dengan penuh semangat.
Kami saling bertanya dan bercerita tentang pekerjaan, tentang kondisi kerja masing-masing, dan perbincangan kami tutup dengan pertanyaan kapan waktu yang bisa dirancang untuk bertemu dan berdiskusi lebih leluasa, komunikasi kami via telepon selesai.
Kami saling bertanya dan bercerita tentang pekerjaan, tentang kondisi kerja masing-masing, dan perbincangan kami tutup dengan pertanyaan kapan waktu yang bisa dirancang untuk bertemu dan berdiskusi lebih leluasa, komunikasi kami via telepon selesai.
Ia begitu bersemangat menjelaskan tugas barunya untuk mengelola sebuah sekolah dengan jumlah siswa lebih kurang 1.500 siswa. Sebuah tugas berat. Dan ia ingin sekali membagi berat bebannya itu kepada saya dengan mengajak saya berdiskusi.
Meski telepon selesai, saya terus saja berpikir tentang pertanyaannya kepada saya di awal telepon tersebut. Yaitu apakah saya sibuk?
Teman saya mungkin berpikir bahwa dengan amanah yang saya pikul sekarang ini tentu menuntut kesibukan yang lebih. Oleh karenanya dia mencoba untuk membatasi diri dalam menyampaikan cerita yang sedang dialami dan menjadi agenda penyelesaiannya.
Teman saya mungkin berpikir bahwa dengan amanah yang saya pikul sekarang ini tentu menuntut kesibukan yang lebih. Oleh karenanya dia mencoba untuk membatasi diri dalam menyampaikan cerita yang sedang dialami dan menjadi agenda penyelesaiannya.
Pertanyaan sibuk itu justru menjadi pertanyaan saya pada diri saya sendiri. Sibuk? Karena jujur saja, saya terima telepon teman tadi ketika sedang berada di atap sekolah. Ditemani teknisi sipil kami, saya sedang melihat keberadan dan kondisi tangki air yang ada di atap. Ini saya lakukan setelah beberapa staf kami menyampaikan kabar bahwa air flush kadang tidak keluar sebagaimana mestinya. Kecil dan lambat. Langkah berikut setelah kami melihat tangki air tersebut adalah memutuskan apakah kami masih memerlukan tambahan tangki air lagi.
Dan kembali kepada pertanyaan teman: Sibuk?
Dalam mengemban amanah, saya terinspirasi apa yang menjadi prinsip kawan saya yang lain, yang menjadi executive principal di sebuah lembaga pendidikan. Dimana ia selalu berada dimana guru dan teman kerjanya sedang memerlukan. Ini dilakukannya manakala dalam agendanya tidak ada janji atau rapat yang harus dilakukannya. Dan jika ia sedang tidak ada di dalam ruangan, pintu ruangannya selalu terbuka lebar.
Kadang guru bertemu dia di koridor sekolah lalu terjadi diskusi kecil di tempat tersebut. Kadang ia masuk toilet siswa dan memanggil petugas cleaner untuk diberitahukan sesuatu. Sering juga ia masuk ke dalam kelas untuk kemudian berbicara dan diskusi dengan siswa dan gurunya. Kadang ia ada di lapangan atau di gym untuk melihat aktivitas olah raga.
Suatu kali saya berdiskusi dengan teman kolega tentang kebiasaan executive principal tersebut. Teman saya hanya menyimpulkan bahwa dia adalah pemimpin yang moderator. Meski demikian bukan berarti ia bukan administrator. Imbuh teman ini. Karena, lanjutnya, semua data sekolah ia miliki dan menjadi bahan analisanya bagi pengembangan secara terus menerus.
Dan sebagai junior, saya sedang belajar untuk seperti executive principal tersebut. Namun dengan pertanyaan teman di telepon apakah saya sibuk tersebut, menjadikan saya termenung.
Catatan Refleksi SGJ, Juli 1996-19 Desember 2009.
Jakarta, 21 November 2009.
No comments:
Post a Comment