Sebagai guru muda, di sekitar tahun 1988, saya diminta oleh Kepala Sekolah saya waktu itu, yang kebetulan berusia 4-5 tahun lebih tua dari saya, untuk mewakili rapat dinas Kepala Sekolah di rayon kecamatan. Kegiatan ini berlangsung tidak hanya sekali.
Mewakili Kepala Sekolah rapat pada saat setiap Kepala dan Wakil Kepala Sekolah saya kurang sehat sehingga berhalangan hadir di sekolah, dan kebetulan pada waktu yang sama ada undangan rapat dinas K3S (kelompok kerja kepala sekolah).
Saya tidak mengetahui apa yang menjadi motivasi atasan saya waktu itu memilih saya sebagai wakil mereka. Karena jika dihitung dari usia dan masa kerja, saya tergolong guru muda yang belum cukup waktu untuk diorbitkan. Oleh karenanya saya menjalani amanah itu selayaknya ketika memegang amanah sebagai ketua panitia di sekolah.
Saya tidak menganggap hal ini sebagai pengkaderan, maka ketika ada guru yang merasa lebih 'pantas' menggantikan posisi saya sebagai wakilnya Kepala Sekolah dalam rapat K3S membahas hal ini secara informal di ruang guru, tidak ada rasa tersinggungpun sedikitpun. Belakangan saya paham betapa tidak enaknya menjadi mereka. Ketika Kepala dan Wakil Kepala Sekolah berhalangan mengapa bukan the next leader yang diminta menggantikannya?
Saya nikmat-nikmat saja. Mungkin teman lain yang menganggap diri mereka lebih pantas akan menilai ini sebuah bentuk pilih kasih. Tapi saya pribadi toh tidak menjadikan ini sebagai gangguan dalam beraktivitas dimasa berikutnya.
Dari sinilah saya belajar dan tahu apa itu organisasi K3S, Kelompok Kerja Kepala Sekolah. Belajar bagaimana Pengawas Sekolah atau saat itu disebut sebagai Penilik Sekolah memimpin setiap rapat. Belajar bagaimana para Kepala Sekolah dari sekolah lain bertemu dan berdialog sepanjang rapat berlangsung. Belajar bagaimana aura kerja mereka sebagai pemimpin di sekolah mereka masing-masing, baik yang sekolah negeri atau swasta seperti sekolah saya. Dan pastinya belajar istilah-istilah yang berkenaan dengan kedinasan serta hal ihwal di Depdikbud (sebelum berganti menjadi Depdiknas).
Dan ilmu pengetahuan itu saya rasakan manfaatnya ketika sembilan tahun berikutnya saya menjadi ban serep untuk menggantikan Kepala Sekolah saya yang resign pada tahun 1997. Sebuah rentetan sejarah yang sinergis.
Dari sinilah saya memetik pelajaran untuk tidak pernah menolak pekerjaan apapun yang diamanahkan. Karena atasan yang baik selalu menakar antara beban yang akan diamanahkan dengan kompetensi kita. Dan ketika amanah tersebut telah kita pegang, maka tunaikan secara total.
Saya juga mensyukuri keberanian atasan saya waktu itu untuk memberikan kesempatan kepada saya mewakilinya dalam rapat dinas. Saya tahu keberaniannya itu melahirkan prasangka.
Jakarta, 1 Oktober 2009
Mewakili Kepala Sekolah rapat pada saat setiap Kepala dan Wakil Kepala Sekolah saya kurang sehat sehingga berhalangan hadir di sekolah, dan kebetulan pada waktu yang sama ada undangan rapat dinas K3S (kelompok kerja kepala sekolah).
Saya tidak mengetahui apa yang menjadi motivasi atasan saya waktu itu memilih saya sebagai wakil mereka. Karena jika dihitung dari usia dan masa kerja, saya tergolong guru muda yang belum cukup waktu untuk diorbitkan. Oleh karenanya saya menjalani amanah itu selayaknya ketika memegang amanah sebagai ketua panitia di sekolah.
Saya tidak menganggap hal ini sebagai pengkaderan, maka ketika ada guru yang merasa lebih 'pantas' menggantikan posisi saya sebagai wakilnya Kepala Sekolah dalam rapat K3S membahas hal ini secara informal di ruang guru, tidak ada rasa tersinggungpun sedikitpun. Belakangan saya paham betapa tidak enaknya menjadi mereka. Ketika Kepala dan Wakil Kepala Sekolah berhalangan mengapa bukan the next leader yang diminta menggantikannya?
Saya nikmat-nikmat saja. Mungkin teman lain yang menganggap diri mereka lebih pantas akan menilai ini sebuah bentuk pilih kasih. Tapi saya pribadi toh tidak menjadikan ini sebagai gangguan dalam beraktivitas dimasa berikutnya.
Dari sinilah saya belajar dan tahu apa itu organisasi K3S, Kelompok Kerja Kepala Sekolah. Belajar bagaimana Pengawas Sekolah atau saat itu disebut sebagai Penilik Sekolah memimpin setiap rapat. Belajar bagaimana para Kepala Sekolah dari sekolah lain bertemu dan berdialog sepanjang rapat berlangsung. Belajar bagaimana aura kerja mereka sebagai pemimpin di sekolah mereka masing-masing, baik yang sekolah negeri atau swasta seperti sekolah saya. Dan pastinya belajar istilah-istilah yang berkenaan dengan kedinasan serta hal ihwal di Depdikbud (sebelum berganti menjadi Depdiknas).
Dan ilmu pengetahuan itu saya rasakan manfaatnya ketika sembilan tahun berikutnya saya menjadi ban serep untuk menggantikan Kepala Sekolah saya yang resign pada tahun 1997. Sebuah rentetan sejarah yang sinergis.
Dari sinilah saya memetik pelajaran untuk tidak pernah menolak pekerjaan apapun yang diamanahkan. Karena atasan yang baik selalu menakar antara beban yang akan diamanahkan dengan kompetensi kita. Dan ketika amanah tersebut telah kita pegang, maka tunaikan secara total.
Saya juga mensyukuri keberanian atasan saya waktu itu untuk memberikan kesempatan kepada saya mewakilinya dalam rapat dinas. Saya tahu keberaniannya itu melahirkan prasangka.
Jakarta, 1 Oktober 2009
2 comments:
Istrimu: Waduh, ayah masih kurus. Anak-anak lucu. Amien.
Imas Awaliyah: "umur bukanlah halangan untuk melangkah..mhn doanya mg2 sy bs belajar n mencontoh hal2 baik dr bapak..thanx"
Post a Comment