Dalam sebuah pelatihan yang menghadirkan seluruh guru di sebuah sekolah yang berdiri sejak tahun 1980-an, saya diteror pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Pertanyaan yang justru ingin mempertanyakan esensi dari pelatihan yang diselenggarakan secara in house tersebut. Saya yang kebetulan saat itu berdiri sebagai pembimbing mereka harus berpikir tidak saja apa jawaban yang baik untuk pernyataan dan pertanyaannya tersebut. Tetapi sering justru berpikir; Kemana arah pertanyaan atau pernyataannya itu. Haruskah saya berikan jawaban?
Misalnya ketika kita sedang mendiskusikan tentang model pembelajaran yang lebih mementingkan cara pandang dan cara pikir siswa sehingga siswa menjadi lebih terlibat dalam aktifitas di kelas, mereka justru angkat tangan dan berkata; Apakah kita harus lupakan cara belajar ceramah yang selama ini telah terbukti efektif?
Atau ketika saya berbicara tentang bagaimana melihat sekolah lain maju dan bergerak agresif, oleh karenanya kita sebagai bagian dari sekolah swasta tidak boleh lengah menangkap perubahan dan mengikutinya atau jika memungkinkan menjadi pemulanya, karena itu berarti kita sedang membuat kemungkinan hidup sekolah lebih oanjang dan baik, mereka berkata dengan kalimat yang mantap: Sepertinya kita bukan sekolah yang kekurangan siswa. Sekolah kita jauh lebih kompetitif. Atau jika personal, kata-katanya begini: Saya kayaknya ngak ketinggalan amat.
Maka dalam sesi-sesi berikutnya, hampir semua pertanyaan dan penyataannya, meski tidak semua rekan sejawatnya sepakat, saya mencoba untuk bersabar. Dengan tidak selalu terpancing oleh selakan yang dilontarkan.
Saya justru mencoba memahami apa yang ada dalam benaknya ketika kata-kata pertanyaan, selakan atau pernyataannya itu terlontar. Saya mencoba untuk melihat ke dalam diri saya apakah pernah saya rasakan apa yang mereka rasakan saat ini? Dan menduga bahwa teman kita ini sebenarnya memiliki tolok ukur yang berbeda dengan apa yang sedang saya kemukakan. Karenanya, ia merasa tolok ukur saya tidak mengakomodasi apa yang telah dia miliki, apa yang telah berhasil ia capai. Dan kapasitasnya, profesionalismenya serta juga integritasnya sebagai seorang guru.
Dia mungkin berpikir bahwa parameter yang saya kemukakan tentang model belajar siswa, bagamana guru yang profesional dan bagaimana sekolah yang progresif atau yang lainnya, seolah-oleh tidak meletakkan dirinya, sekolahnya pada bagian yang semestinya. Bahwa ajakan saya untuk ayo maju, seolah tidak melihat bahwa ia atau sekolahnya telah maju. Kita tidak sama dalam melihat parameter dan tolok ukur maju itu.
Inilah yang oleh teman saya yang lain disebut dalam sebuah pernyataan bagus. Yaitu merasa pintar. Dan bukan pintar merasa. Saya tidak sempat bertanya apa yang dia maksud dengan istilahnya itu. Tetapi dalam pemahaman saya, penyakit merasa pintar akan berjangkit bilamana kita selalu fokus pada diri sendiri. Fokus yang begitu berlebihan akan menumbuhkan rasa percaya diri yang berlebihan. Dalam situasi seperti ini kita menjadi mudah melupakan keberadaan teman yang ada di sekitar kita dengan kelebihan dan kekurangannya.
Kapan kita keluar dari zona ini? Manakala kita berani jujur melihat siapa kita dalam koordinat sosial yang ada dan dengan parameter yang orang lain punya. Menjadi jujur dalam konteks atau dalam konstelasi sosial bukanlah perkara mudah. Setidaknya ini seperti apa yang sering sara rasakan dan jalani. Karena dalam posisi ini berarti kita duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Atau bisa jadi justru kita lebih baik menjadi rendah hati dengan memberikan penghormatan setulusnya kepada lingkungan sosial sekitar dimana kita berinteraksi.
Dengan cara inilah kita menjadi pintar merasa. Dan bukan merasa pintar! Semoga penyakit ini dijauhkan dari dalam hati kita. Amien.
Jakarta, 26 Oktober 2009
Misalnya ketika kita sedang mendiskusikan tentang model pembelajaran yang lebih mementingkan cara pandang dan cara pikir siswa sehingga siswa menjadi lebih terlibat dalam aktifitas di kelas, mereka justru angkat tangan dan berkata; Apakah kita harus lupakan cara belajar ceramah yang selama ini telah terbukti efektif?
Atau ketika saya berbicara tentang bagaimana melihat sekolah lain maju dan bergerak agresif, oleh karenanya kita sebagai bagian dari sekolah swasta tidak boleh lengah menangkap perubahan dan mengikutinya atau jika memungkinkan menjadi pemulanya, karena itu berarti kita sedang membuat kemungkinan hidup sekolah lebih oanjang dan baik, mereka berkata dengan kalimat yang mantap: Sepertinya kita bukan sekolah yang kekurangan siswa. Sekolah kita jauh lebih kompetitif. Atau jika personal, kata-katanya begini: Saya kayaknya ngak ketinggalan amat.
Maka dalam sesi-sesi berikutnya, hampir semua pertanyaan dan penyataannya, meski tidak semua rekan sejawatnya sepakat, saya mencoba untuk bersabar. Dengan tidak selalu terpancing oleh selakan yang dilontarkan.
Saya justru mencoba memahami apa yang ada dalam benaknya ketika kata-kata pertanyaan, selakan atau pernyataannya itu terlontar. Saya mencoba untuk melihat ke dalam diri saya apakah pernah saya rasakan apa yang mereka rasakan saat ini? Dan menduga bahwa teman kita ini sebenarnya memiliki tolok ukur yang berbeda dengan apa yang sedang saya kemukakan. Karenanya, ia merasa tolok ukur saya tidak mengakomodasi apa yang telah dia miliki, apa yang telah berhasil ia capai. Dan kapasitasnya, profesionalismenya serta juga integritasnya sebagai seorang guru.
Dia mungkin berpikir bahwa parameter yang saya kemukakan tentang model belajar siswa, bagamana guru yang profesional dan bagaimana sekolah yang progresif atau yang lainnya, seolah-oleh tidak meletakkan dirinya, sekolahnya pada bagian yang semestinya. Bahwa ajakan saya untuk ayo maju, seolah tidak melihat bahwa ia atau sekolahnya telah maju. Kita tidak sama dalam melihat parameter dan tolok ukur maju itu.
Inilah yang oleh teman saya yang lain disebut dalam sebuah pernyataan bagus. Yaitu merasa pintar. Dan bukan pintar merasa. Saya tidak sempat bertanya apa yang dia maksud dengan istilahnya itu. Tetapi dalam pemahaman saya, penyakit merasa pintar akan berjangkit bilamana kita selalu fokus pada diri sendiri. Fokus yang begitu berlebihan akan menumbuhkan rasa percaya diri yang berlebihan. Dalam situasi seperti ini kita menjadi mudah melupakan keberadaan teman yang ada di sekitar kita dengan kelebihan dan kekurangannya.
Kapan kita keluar dari zona ini? Manakala kita berani jujur melihat siapa kita dalam koordinat sosial yang ada dan dengan parameter yang orang lain punya. Menjadi jujur dalam konteks atau dalam konstelasi sosial bukanlah perkara mudah. Setidaknya ini seperti apa yang sering sara rasakan dan jalani. Karena dalam posisi ini berarti kita duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Atau bisa jadi justru kita lebih baik menjadi rendah hati dengan memberikan penghormatan setulusnya kepada lingkungan sosial sekitar dimana kita berinteraksi.
Dengan cara inilah kita menjadi pintar merasa. Dan bukan merasa pintar! Semoga penyakit ini dijauhkan dari dalam hati kita. Amien.
Jakarta, 26 Oktober 2009