Inilah pengalaman yang sebelumnya tidak terbayangkan. Tidak terbayangkan karena saya sendiri adalah guru muda yang baru lulus dari Sekolah Pendidikan Guru pada Juni 1984 dan penawaran itu saya terima pada Juni 1986. Sehingga kalaupun saya diberikan kepercayaan mengajar dan menjadi guru kelas satu tentu itu diluar apa yang saya harapkan. Seperti sejak Desember 1985, ketika awal saya diterima menjadi bagian di sekolah yang menjadi universitas guru bagi saya secara aplikatif tersebut, untuk membantu dan mendampingi mengajar di kelas dua. Dan mendapat tugas di tingkat kelas ini maka saya merasa melakukan proses belajar dengan wajar.
Namun mulai Juli 1986 almarhum Bapak Setiono selaku Ketua Bidang Pendidikan Yayasan Masjid Al Ikhlas dan Bapak M. Mudjib selaku kepala sekolah pada saat itu memberikan amanah agar saya mengajar dan menjadi guru kelas di kelas satu.
Apa yang menjadikan saya begitu berat untuk memegang amanah tersebut? Tidak lain karena mengajar di kelas satu adalah suatu yang menurut saya pribadi menjadi spesial. Mengingat usia saya yang masih muda sementara kelas awal di SD tersebut terdiri dari anak-anak yang butuh perhatian dan keahlian serta keterampilan yang jauh lebih baik. Sedang yang saya punya?
Ketika keberatan dan kondisi saya sampaikan kepada kepala sekolah, justru kepala sekolah memberikan dorongan dan meminta saya untuk mencoba. Kalau bukan Pak Agus, untuk saat ini, kita belum ada guru yang cocok untuk menjadi guru kelas satu. Demikian jelas kepala sekolah.
Meski semua doa telah saya panjatkan untuk kekuatan agar saya benar-benar mampu mengajar di kelas satu, tak pelak lagi tekanan berat tetap menjadi beban yang tidak mudah saya hilangkan. Hari-hari pada awal tahun pelajaran menjadi guru kelas satu merupakan masa yang menurut saya waktu berjalan begitu lambat..
Pagi hari begitu azan Subuh berkumandang rasa berat itu bergelayut di hati dan pikiran saya. Tak jarang saya berguman mengapa justru saat dari sore hingga pagi waktu berjalan begitu cepat? Dan tak jarang saya menitikkan air mata merasakan beratnya tekanan itu. Dan sepanjang perjalanan di bus kota dari Minangkabau di Manggarai hingga Cipete, tidak henti-hentinya saya memvisualisasikan pembelajaran yang akan saya lakukan di dalam kelas nanti.
Yaitu bagaimana dan apa yang saya harus lakukan saat sampai di sekolah dan memasuki ruang kelas, ketika bertemu siswa saya yang diantar oleh orangtuanya atau oleh susternya, apa yang akan saya lakukan saat jam pelajaran pertama berlangsung, bagaimana jika siswa saya masih ada yang belum berani ditinggal pergi oleh orangtuanya sehingga siswa tersebut harus ditunggui ayah atau ibunya dengan duduk disampingnya di dalam kelas, atau bagaimana saya harus bersikap jika ada beberapa orangtua siswa yang terutama ibu-ibu mendampingi putra atau outrinya dengan menonton di jendela sekolah yang pada masa itu tidak menggunakan AC, dan semua hal hingga siswa pulang dan kelas berakhir?
Dan tidak jarang ketika pikiran masih membebani saya untuk melangkah menju sekolah, jarak saya dengan kelas saya menjadi dekat sekali. Yang bararti saya harus siap lahir dan batin, yang berarti juga bahwa memvisualisasi tidak mungkin lagi saya lanjutkan.
Pada masa-masa ini, waktu berakhirnya kelas menjadi waktu atau masa yang benar-benar saya nikmati sebagai waktu bebas tiada beban sama sekali. Dan saya akan mengisinya dengan penuh gembira seperti saya bercengkerama dengan sesama teman. Tidak jarang pula saya sempatkan untuk berkunjung atau mampir ke tempat kontrakan teman sebelum saya berniat pulang ke Pasar Rumput.
Ya, seperti apa yang telah saya kemukakan sebelumnya, bahwa modal lagu dan bercerita, saya merasakan pertolongan yang luar biasa. Dengan bercerita, saya menyampaikan keinginan kepada siswa saya untuk dan harus seperti apa. Sedang dengan lagu, saya juga jadikan selingan dan pelajaran kebersamaan.
Tahap pertama saat membelajarkan sebuah lagu adalah mengenalkan irama dan nada lagu tersebut tentunya dengan saya memberikan contoh secara berulang-ulang, sebelum siswa saya akan mengikuti saya bait demi bait dari lagu tersebut. Dan tahap akhirnya adalah kita menghafakan syairnya. Dan ketika syair telah dihafalkan oleh sebagian siswa, saya mengajak siswa untuk keluar kelas dan pindah ke aula masjid yang ada di dalam kompleks sekolah. Dan untuk mengurangi kejenuhan, saya akan membagi siswa dan siswi untuk menyanyikan bagian syair lagu secara bergantian dan seterusnya. Ini semua saya lakukan sebagai ikhtiar agar siswa tidak bosan karena dalam setiap tahap selalu ada yang berbeda sehingga mereka merasakan selalu ada tantangan.
Setelah bulan pertama terlewati, catur wulan pertama juga berhasil saya lalui, tantangan demi tantangan menjadi telah biasa bagi saya. Meski demikian diluar jam mengajar saya sempatkan untuk melihat kelas teman yang bisa menjadi inspirasi bagi saya dalam mengajar.
Itulah bagian hidup yang tidak akan mungkin saya sendiri lupakan. Bagian yang menjadi pondasi bagi kehidupan saya di hari berikutnya…
Slipi, 15 Maret 2009.
(Tulisan ini nyambung juga ke: Berawal dari Kelas,Undangan Reuni dan Ponten)
Namun mulai Juli 1986 almarhum Bapak Setiono selaku Ketua Bidang Pendidikan Yayasan Masjid Al Ikhlas dan Bapak M. Mudjib selaku kepala sekolah pada saat itu memberikan amanah agar saya mengajar dan menjadi guru kelas di kelas satu.
Apa yang menjadikan saya begitu berat untuk memegang amanah tersebut? Tidak lain karena mengajar di kelas satu adalah suatu yang menurut saya pribadi menjadi spesial. Mengingat usia saya yang masih muda sementara kelas awal di SD tersebut terdiri dari anak-anak yang butuh perhatian dan keahlian serta keterampilan yang jauh lebih baik. Sedang yang saya punya?
Ketika keberatan dan kondisi saya sampaikan kepada kepala sekolah, justru kepala sekolah memberikan dorongan dan meminta saya untuk mencoba. Kalau bukan Pak Agus, untuk saat ini, kita belum ada guru yang cocok untuk menjadi guru kelas satu. Demikian jelas kepala sekolah.
Meski semua doa telah saya panjatkan untuk kekuatan agar saya benar-benar mampu mengajar di kelas satu, tak pelak lagi tekanan berat tetap menjadi beban yang tidak mudah saya hilangkan. Hari-hari pada awal tahun pelajaran menjadi guru kelas satu merupakan masa yang menurut saya waktu berjalan begitu lambat..
Pagi hari begitu azan Subuh berkumandang rasa berat itu bergelayut di hati dan pikiran saya. Tak jarang saya berguman mengapa justru saat dari sore hingga pagi waktu berjalan begitu cepat? Dan tak jarang saya menitikkan air mata merasakan beratnya tekanan itu. Dan sepanjang perjalanan di bus kota dari Minangkabau di Manggarai hingga Cipete, tidak henti-hentinya saya memvisualisasikan pembelajaran yang akan saya lakukan di dalam kelas nanti.
Yaitu bagaimana dan apa yang saya harus lakukan saat sampai di sekolah dan memasuki ruang kelas, ketika bertemu siswa saya yang diantar oleh orangtuanya atau oleh susternya, apa yang akan saya lakukan saat jam pelajaran pertama berlangsung, bagaimana jika siswa saya masih ada yang belum berani ditinggal pergi oleh orangtuanya sehingga siswa tersebut harus ditunggui ayah atau ibunya dengan duduk disampingnya di dalam kelas, atau bagaimana saya harus bersikap jika ada beberapa orangtua siswa yang terutama ibu-ibu mendampingi putra atau outrinya dengan menonton di jendela sekolah yang pada masa itu tidak menggunakan AC, dan semua hal hingga siswa pulang dan kelas berakhir?
Dan tidak jarang ketika pikiran masih membebani saya untuk melangkah menju sekolah, jarak saya dengan kelas saya menjadi dekat sekali. Yang bararti saya harus siap lahir dan batin, yang berarti juga bahwa memvisualisasi tidak mungkin lagi saya lanjutkan.
Pada masa-masa ini, waktu berakhirnya kelas menjadi waktu atau masa yang benar-benar saya nikmati sebagai waktu bebas tiada beban sama sekali. Dan saya akan mengisinya dengan penuh gembira seperti saya bercengkerama dengan sesama teman. Tidak jarang pula saya sempatkan untuk berkunjung atau mampir ke tempat kontrakan teman sebelum saya berniat pulang ke Pasar Rumput.
Ya, seperti apa yang telah saya kemukakan sebelumnya, bahwa modal lagu dan bercerita, saya merasakan pertolongan yang luar biasa. Dengan bercerita, saya menyampaikan keinginan kepada siswa saya untuk dan harus seperti apa. Sedang dengan lagu, saya juga jadikan selingan dan pelajaran kebersamaan.
Tahap pertama saat membelajarkan sebuah lagu adalah mengenalkan irama dan nada lagu tersebut tentunya dengan saya memberikan contoh secara berulang-ulang, sebelum siswa saya akan mengikuti saya bait demi bait dari lagu tersebut. Dan tahap akhirnya adalah kita menghafakan syairnya. Dan ketika syair telah dihafalkan oleh sebagian siswa, saya mengajak siswa untuk keluar kelas dan pindah ke aula masjid yang ada di dalam kompleks sekolah. Dan untuk mengurangi kejenuhan, saya akan membagi siswa dan siswi untuk menyanyikan bagian syair lagu secara bergantian dan seterusnya. Ini semua saya lakukan sebagai ikhtiar agar siswa tidak bosan karena dalam setiap tahap selalu ada yang berbeda sehingga mereka merasakan selalu ada tantangan.
Setelah bulan pertama terlewati, catur wulan pertama juga berhasil saya lalui, tantangan demi tantangan menjadi telah biasa bagi saya. Meski demikian diluar jam mengajar saya sempatkan untuk melihat kelas teman yang bisa menjadi inspirasi bagi saya dalam mengajar.
Itulah bagian hidup yang tidak akan mungkin saya sendiri lupakan. Bagian yang menjadi pondasi bagi kehidupan saya di hari berikutnya…
Slipi, 15 Maret 2009.
(Tulisan ini nyambung juga ke: Berawal dari Kelas,Undangan Reuni dan Ponten)
1 comment:
Wah cerita yang menarik. Kayaknya saya juga paling pusing kalau diminta mengajar siswa kelas 1 SD. Mesti mengajar membaca dari awal. Aduh belum terbayang caranya. Salut dengan perjuangan Pak Agus.
Post a Comment