Apa yang dikemukakan oleh Bapak Wakil Presiden tersebut terjadi sebelum demo guru yang terjadi pada Kamis, 19 Juli 2007. Pada demo yang terakhir tersebut, perwakilan para guru sempat bertemu dengan para wakil rakyat di gedung DPR/MPR, dan juga bertemu dengan para menteri di Sekertariat Negara. Demo yang terjadi pada kamis lalu tersebut dengan tuntutat yang sama. Yang
antara lain adalah tuntutan agar anggaran pendidikan di APBN sejalan dengan amanah konstitusi, yaitu 20 %. Juga tuntutan terhadap pelaksanaan sertifikasi serta tunjangan fungsional guru sebagai mandat dari undang-undang Sisdiknas.
Yang menarik dari apa yang dikemukakan Pak Jusuf Kalla adalah berkenaan dengan kompetensi guru dalam menyerap informasi dan denyut di masyarakatnya melalui kegiatan membaca. Disinyalir oleh Bapak Wakil Presiden bahwa guru kita, mungkin sebagiannya, adalah generasi yang belum menjadikan membaca sebagai kebiasaannya.
Dalam tulisan ini, saya tidak hendak mengupas tentang angaran pendidikan kita yang belum sesuai dengan UUD yang berlaku, dan juga tentang komentar Bapak Jusuf Kalla terhadap demo guru, tetapi akan sedikit mengungkap kegiatan membaca sebagai bagian dari kompetensi belajar sepanjang hayat.
Bisa Baca bukan Suka Baca
Siswa kita yang duduk di kelas awal SD, atau mungkin juga yang di bangku TK, guru mengajarkannya untuk bisa membaca. Yang paling sering digunakan adalah metode suku kata. Dimana siswa diperkenalkan suku kata, yang terdiri dari konsonan dan vokal yang berganti-ganti. Lalu setelah siswa mulai mengenal suku kata tersebut, guru mencoba membuat kata, lalu kalimat. Biasanya konsonan akan diberikan secara bertahap. Dengan ini maka siswa sepanjang satu semester diharapkan telah bisa atau mampu membaca.
Namun tampaknya keterampilan membaca di kota-kota besar seperti Jakarta ini, sudah dibelajarkan sejak siswa kita duduk di bangku TK. Maka ketika PSB di jenjang SD, ada diantara sekolah dasar ada yang menjadikan membaca sebagai salah satu komponen yang diujikan. Dan anehnya ketika pekan-pekan awal siswa tersebut duduk di bangku SD, guru di kelasnya akan mengajar membaca sebagaimana ketika siswa tersebut baru belajar membaca. Padahal mereka adalah siswa yang lolos karena telah mampu membaca.
Ada aktivitas membaca yang berbeda ketika siswa pertama kali berkenalan dengan buku di TK. Yaitu kegiatan membaca gambar. Saya pernah melihat di sebuah sekolah yang menjadikan kegiatan membaca gambar adalah menu rutin. Guru membacakan buku yang halamannya penuh dengan gambar. Siswapun diminta membawa buku dari rumah masing-masing, dan pada jam tertentu setiap harinya di sekolah akan ada kegiatan membaca buku bersama dengan hening. Kegiatan ini dilakukan secara konsisten, maka dalam tempo tidak sampai satu tahun pelajaran, melahirkan generasi yang bisa dan suka membaca.
Mengapa suka membaca? Karena makna dari aktivitas itu telah ditangkap dan dinikmatinya seraya membuat gambar imajinasi dipikirannya. Kemampuan imajinasi ini terlatih ketika guru membuat kalimat-kalimat atau membaca kalimat-kalimat yang berulang dari gambar yang terdapat di buku. Dan ketika prosesi itu dilakukannya sendiri, pikiran mereka akan terangsang untuk \'mencipta\' dunia baru.
Namun bagaimana dengan apa yang terjadi di masyarakat sekolah kita. model belajar membaca yang mana yang masih dominan dilakukan? Model suku kata atau model membaca gambar? Sangat boleh jadi kita akan mengajukan argumentasi bahwa model membaca gambar butuh biaya dan modal yang tidak sedikit. Namun saya berpendapat bahwa, modal yang paling mahal saat ini adalah motivasi dan komitmen untuk melakukannya.
Kita harus belajar dari apa yang dilakukan oleh pemerintah Malaysia. Dimana siswa di tingkat sekolah dasar salah satu dari komponen hasil belajar (Rapor) setiap semesternya adalah kualifikasi membaca buku. Siswa berkualifikasi asas atau dasar jika dalam kurun waktu satu semester mampu membaca sebanyak 90-179 judul buku, kualifikasi sederhana jika dapat membaca 180-269 judul buku, kualifikasi tinggi jika jumlah buku yang dibacanya adalah 270-359, dan kualifikasi cemerlang, sebagai kualifikasi paling tinggi jika jumlah buku yang dibacanya sebanyak lebih dari 360!
Maka dengan mengambil hikmah dari apa yang disampaikan Bapak Wakil Presiden, serta ekspektasi pemerintah kepada siswa yang duduk di bangku sekolah dasar di Malaysia, membaca memang harus menjadi bagian inheren dalam hidup kita.
Sumber: Harian PELITA, 24 juli 2007.