Dalam suatu kegiatan pelatihan, kebetulan berada di sebuah Kabupaten sekaligus provinsi yang baru dibentuk dari hasil pemekaran suatu daerah, penulis diminta untuk memberikan satu sesi mengenai guru. Sebagaimana di pelatihan-pelatihan sebelumnya, dalam pelatihan kali itupun penulis sebagai guru mencoba menyampaikan apa yang pernah penulis alami, lihat atau dengar.
Singkat cerita dalam pelatihan tersebut penulis menyampaikan sebuah anekdot mengenai beberapa rekan kita yang kalau datang ke kelas untuk mengajar, kadang kurang tepat waktu. Meski kurangnya ‘hanya’ lima menit. Padahal lima menit adalah waktu emas. Karena dalam lima menit tersebut, siswa dalam kelas dapat melakukan apa saja yang mereka mau tanpa kontrol dari guru. Tetapi beberapa teman ini memperlakukan waktu lima menit, kadang-kadang lebih dari lima menit, sebagai suatu hal yang biasa saja.
Dan ketika pun ia telah hadir dalam kelas, maka akan segera meminta kepada para siswanya untuk membuka buku cetak mereka pada halaman 32. Dari halaman itu siswa dimintanya untuk membuat ringkasan dari uraian materi untuk selanjutnya mengerjakan soal latihan yang terdapat pada halaman berikutnya. Beberapa menit sesudah guru memberikan tugas itu, ia meninggalkan kelas untuk suatu keperluan entah apa di ruang guru. Baru lima menit sebelum pelajaran akan berakhir, teman itupun datang ke kelas. ”Sudah selesai anak-anak?” begitulah sapaannya yang selalu pula dijawab siswa dengan koor.
Pada saat penulis mengemukakan anekdot itu, para peserta pelatihan terkekeh-kekeh. Di waktu jeda, seorang peserta mendatangi penulis untuk kemudian mengemukakan bahwa apa yang penulis kemukakan tersebut masih pada tarap ’bagus’. Kok? Menurutnya, ada guru yang jika dalam satu hari memiliki 7 jam mengajar di kelas, maka dia hanya masuk kelas 4 atau 5 jam pelajaran. Dan sisanya guru hanya membiarkan siswanya melakukan pelajaran bebas. Deg! Penulis benar-benar shok.
Fakta tersebut bukanlah omong kosong. Ada obyek yang jelas jikalau ingin menunjuknya. Namun kenyataan itu tidaklah bijak bila kita tidak menanggapinya secara adil. Pertama, harus kita sadari bersama mengapa masih terdapat guru yang memiliki kinerja seburuk itu. Untuk menemukan mengapa, maka kita harus menggali akar masalahnya. Namun secara umum dapat kita katakan bahwa kinerja guru adalah refleksi dari sistem pembinaan yang dilakukan oleh manajemen dan juga sistem pembinaan dari lembaga tersebut.
Harus kita akui bahwa sebagai guru baru di sebuah lembaga pendidikan, kita memerlukan panduan dalam mengimplementaikan semua visi dan misi lembaga dalam bentuk kultur. Baik kultur bertingkah laku, kultur kerja, dan juga kultur berinteraksi dengan siswa dalam bentuk proses belajar mengajar. Bila semua hal tersebut tidak mendapat perhatian yang secukupnya dari manajemen di lembaga tersebut, maka akan lahir kultur individu-individu. Bukan kultur lembaga sebagaimana yang tertera dalam visi dan misinya.
Pembinaan tidak dapat pula hanya diberikan secara insidental. Karena pembinaan model seperti ini hanya akan memberikan pencerahan sesaat tanpa implementasi dalam hidup sehari-hari. Maka pembinaan harus berlangsung secara terus menerus tanpa henti. Dengan demikian maka kepala sekolah sebagai figur manajemen dan atasan langsung para guru adalah ujung tombak dari keberhasilan pola pembinaan mereka.
Kedua, kepada para guru untuk merenungkan kembali tentang pilihannya menjadi guru. Bahwa pilihan akan selalu memberikan konsekuensi. Sebagai pendidik kiranya tidak bijak bila menyalahkan pihak lain atas ketidaknyamanannya menjadi seorang guru. Kesadaran yang tulus atas ini akan melahirkan semangat dirinya dalam menunaikan tugas dan amanah keguruannya secara optimal. Optimalisasi potensi pada akhirnya akan membuka pintu baginya yang lebih lebar. Hal inilah yang Allah SWT sebutkan meninggikan derajat. Bagaimana bentuk tingginya derajat itu, sudah bukan bagian kita lagi untuk menjadi urusan kita. Karena yang harus dan selalu wajib bagi kita adalah memeras potensi menjadi optimal.
Ketiga, menjadi kewajiban penulis, pembaca, dan kita semua sebagai pendidik untuk memberikan kontribusi yang paling indah dan sesempurna mungkin dalam membentuk generasi yang lebih baik. Karena kumpulan usaha kita yang sungguh-sungguh dan total itulah yang akan melahirkan siswa-siswi kita sebagai generasi yang lebih baik dimasa depan. Tanpa kesadaran ini maka sesungguhnya yang kita lakukan barulah sebatas komentator.
Dari uraian diatas penulis kembali menyadari betapa perjalanan optimalisasi diri adalah bentuk nyata dari membelajarkan diri. Proses ini tiada akan pernah menemui garis akhir sejauh apapun kita bergerak. Dan keberhasilan, sesungguhnya hanya diluar diri kita saja yang dapat menakarnya dengan parameter yang adil. Karena jika kita sendiri sudah mulai menghitung-hitung prestasi sendiri, maka yang lahir adalah; pertama, sikap sombong atas jasa yang telah diamalkan. Dan kedua, sikap puas diri yang akan menghentikan langkah eksplorasi diri yang berakhir pada tataran camper sebagaimana yang dikemukakan oleh Paul Stoltz dalam Kecerdasan Adversitasnya. Atau dalam bahasa kiasan kita, layu sebelum berkembang sempurna.
Dan perjalanan menuju kesempurnaan itu kadang lahir dengan melihat apa yang terhampar disekitar kita. Termasuk anekdot yang penulis kemukakan di atas...
(Sumber: PELITA, 31 Mei 2005)
(Sumber: PELITA, 31 Mei 2005)
No comments:
Post a Comment