Siapa yang dirugikan dengan keberadaan pola hubungan kerja senioritas-junioritas di kantor? Tidak lain dan tidak bukan adalah mereka yang senior maupun yang masih junior. Hal ini menarik untuk dikemukakan disini sebagai bahan perenungan bagi kita bersama dalam mengarungi pembaruan di lembaga pendidikan kita masing-masing. Hal ini terjadi, menurut hemat saya, karena pola kerja senior-junior tidak akan menciptakan hubungan kerja yang sejajar dan harmonis sehingga sulit bagi terciptanya interaksi saling memberi dan berbagi. yang juga berarti tertutupnya atmosfer pembelajaran bagi kedua golongan tersebut.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan salah satu pihak pun. Tetapi mencoba apa sesungguhnya yang terjadi di lapangan tentang model hubungan perilaku yang sesungguhnya merupakan design sosial. Dan berangkat dari sinilah kita akan mencoba melihat apa yang dapat dilakukan untuk distribusi maksimal pada terbentuknya pola hubungan kerja profesional egaliter.
Sebagai contoh misalnya, yang dapat kita simak dalam sebuah iklan pelembut atau pembersih kulit di layar kaca, yang mengambil setting cerita pelaksanaan ospek di sebuah perguruan tinggi. Ditampilkan bahwa ada seorang mahasiswi senior yang memarahi juniornya. Sang junior, wanita yang sedang membersihkan noda yang terdapat di tangannya, merupakan anggota bebek dalam ospek mahasiswa baru tersebut, digambarkan tentang perasaan takut dan ‘tertekan’. Hingga kotoran dan ‘tekanan’ tersebut sirna ketika ia menggunakan pembersih yang ia iklankan. dari tayangan iklan, yang pasti telah lolos sensor tersebut, kita sedang belajar bagaimana menghadapi sikap senonoh senior sebagai bagian yang harus diterima oleh junior. Selain itu, kita juga sedang belajar bagaimana ‘menikmati’ bullying dari rekan yang lebih ‘tua’.
Sangat disayangkan bahwa iklan murahan semacam ini bisa lolos dan mewarnai ruang keluarga kita sehari-hari. Dan inilah yang sesungguhnya berkontribusi terhadap suburnya pola hubungan senior-junior yang kurang sehat dalam sendi kehidupan kita sebagai anggota masyarakat banyak ataupun juga sebagai karyawan di peruhasaan atau bahkan juga sebagai guru di sebuah lembaga pendidikan.
Bercermin dari contoh tersebut diatas, sulit bagi kita untuk mengembangkan pola hubungan senior-junior menjadi pola interaksi professional yang setara. Misalnya bagaimana senior membelajarkan junior berkenaan dengan system Belajar yang terdapat dalam institusi barunya. Bagaimana hubungan saling menghargai dapat terjalin secara tulus sesuai dengan tata laksana kerja yang ada. Bagaimana sikap positif selalu hadir dalam menghadapi setiap langkah ke depan. Dan seterusnya.
Mungkin perasaan seperti itu pulalah yang pernah saya alami ketika masuk dalam konstelasi sebuah sekolah baru. Dimana sebagai guru baru disebuah sekolah yang relatif favorit (tolok ukurnya hanyalah jumlah siswa dari kalangan berkecukupan), banyak hal yang sesungguhnya ingin saya gali dari sekeliling. Termasuk diantaranya adalah dari para teman sejawat yang kebetulan telah berpengalaman beberapa tahun lebih dahulu. Satu-dua informasi memang saya dapatkan, tetapi tidak semua senior saya di sekolah tersebut begitu mudah dan terbuka untuk memberikan ‘rambu-rambu’ ilmu kepada saya.
Jawaban seperti itu memang tidak ada yang keliru sedikitpun. Namun sebagai orang baru di lembaga yang baru dikenalnya, dengan strata sosial yang relatif berbeda dengan latar belakang yang saya miliki, maka panduan dari pihak senior sesungguhnya menjadi salah satu harapan saya. Karena jika panduan itu dapat diperoleh, maka setidaknya gap sebagai junior menjadi lebih tipis. Maka dengan cermat dan hati-hati saya mencoba untuk bekerja sebaik Mungkin yang dapat saya lakukan. Dan ketika tahun kedua masa kerja saya, maka tekad pertamanya adalah bagaimana saya dapat memberikan ‘bantuan’ kepada guru baru. Demikianlah semangat yang tumbuh dari pengalaman yang pernah saya alami.
Dan pada tahapan berikutnya lahirlah system penilaian kinerja yang menjadi acuan bagi penilaian prestasi sebagai guru. Maka penghargaan lembaga kepada kita tidak lagi bertumpu kepada sudah berapa tahunkah kita berbakti bersama lembaga tersebut, tetapi seberapa berprestasikah kita dalam menunaikan amanah keguruan yang menjadi pilihan kita. Disilah saya menemukan betapa timbunan masa kerja tiada artinya tanpa dihiasi dengan sikap profesionalisme dalam menjalankannya.
Penghargaan yang berlandaskan kepada kinerja seorang guru di sebuah lembaga, dapat menjadikan kita untuk lebih memahami dan menyadari akan seperti apakah kita nantinya. Kita dapat dengan mudah menemukan indikator yang menjadi tolok ukur bagi kinerja kita. Sehingga untuk menjadi serang guru yang professional adalah benar-benar menjadi pilihan kita sendiri.
Terkikisnya hubungan senioritas-junior seteah suatu lembaga menggunakan penilaian guru berbasis kinerja akan menyadarkan kita bahwa hitungan tahun pengalaman yang kita kumpulkan tanpa dibarengi dengan kinerja yang baik adalah sebuah kemubaziran. Tidak menghargai waktu dan tidak menggunakan prinsip hidup: hari ini harus lebih baik dari hari kemarin …
Maka dengan melihat uraian di atas, hubungan professional-egaliter antara guru lama dan guru baru haruslah diletakan dalam dialektika saling menghargai, berpikir positif, dan saling terbuka dalam rangka menjadikan diri sebagaisosok pembelajar sepanjang hayat. Bahwa makna sebuah kesempurnaan adalah khusnul khotimah …
No comments:
Post a Comment