Melihat sesuatu yang ada diluar kita dari kacamata yang memungkinkan buat kita lakukan atau perbuat sendiri merupakan kunci dari gerbang perubahan. Ini adalah kata pertama yang harus dikibarkan oleh para guru atau siapa saja yang ingin belajar dari orang lain. Modal ini menurut penulis adalah modal dasar yang tidak boleh tertinggal bila kita menginginkan kemajuan. Karena salah satu kemajuan atau pembaruan dalam bidang pembelajaran di kelas dan sekolah adalah imitasi. Dan keberhasilan dari adopsi dan imitasi jika kaca mata yang kita kenakan adalah kaca mata mungkin.
Perubahan atau kemajuan yang diinginkan oleh sesorang dan lembaga tentulah berbeda satu sama lain. Maka itulah letak dinamika kehidupan. Dalam suatu lembaga persekolahan maka perubahan dan pembaruan dapat diartikan pada tataran visi dan misi, kurikulum dan implementasinya termasuk di dalamnya adalah sistem pembelajaran penilian dan pelaporan, atau kultur. Beberapa sekolah belakangan ini sibuk melakukan peningkatan kualitas sekolah dalam ketiga tataran diatas. Suatu misal, ada sekolah yang merubah visi dan misinya menjadi Sekolah Nasional Plus setelah sebelumnya adalah merupakan sekolah nasional pada umumnya. Walau diakui ini baru menjadi paradigma sekolah swasta.
Mengapa penulis menyatakan bahwa kunci dari perubahan adalah berangkat dari kacamata mungkin? Ini tidak lain dari pengalaman yang penulis alami selama menjadi salah satu bagian di Sekolah in Between di wilayah Bintaro Jaya, Tangerang, Banten. Pengalaman ini ketika menerima tamu atau mengikuti pelatihan. Ketika menerima tamu rombongan studi banding yang merupakan sekolah-sekolah yang berasal dari berbagai penjuru tanah air dan pada ragam yang berbeda, mereka selalu menanggapi apa yang kita presentasi dan apa yang mereka saksikan sendiri ketika kunjungan ke dalam kelas, dengan komentar negatif, pesimis dan serba tidak mungkin: Disini semua bisa terjadi karena memiliki fasilitas yang lengkap! Dan komentar tersebut tidak saja terucap dari guru yang menjadi peserta kunjungan di sekolah kami, tetapi kadang anggota DPRD atau bahkan seorang Bupati?
Dengan komentar singkat tersebut, penulis berpikir, kalau memang tidak mungkin melaksanakan sebagaimana yang kami anggap ’plus’ di sekolah kami, lalu apa tujuan studi banding sampean? Tetapi harus diakui bahwa tidak semua peserta studi banding memiliki komentar yang sama. Karena dibalik komentar-komentar itu ada pula beberapa diantara mereka yang sangat eager untuk mengadopsi dan meniru apa yang dilihat dan didengarnya selama di sekolah kami. Kelompok ini akan terus mengejar kami bagaimana proses untuk menjadi seperti ini? Apa yang harus menjadi perhatian kita dalam melaksanakan di dalam pembelajaran? Bagaimana mengorganisir kelas pararel? Dan seterusnya-seterusnya. Mereka sibuk mewawancarai siapa saja yang diangap dapat memberikan informasi yang operasional. Dan harus diakui juga bahwa jika kami prosentasekan, maka sesungguhnya komentar negatif dan positif kurang seimbang. Artinya orang-orang yang memiliki kacamata ’mungkin’ masih menjadi bagian yang minoritas.
Demikian pula dalam suatu pelatihan. Para peserta pelatihan kadang tidak jarang yang melakukan sesuatu yang menjadi aktivitas atau kegiatan pelatihan dengan motivasi yang setengah-setengah. Hal ini tidak lain karena mereka beranggapan bahwa apa yang dilatihkan akan menjadi sia-sia ketika dibawa kembali ke sekolah dimana mereka menjadi guru.
Benarkah cara pandang tersebut? Kita tentu akan dengan mudah menyepakati untuk menjawab tidak. Karena itu baru pada tataran kognitif tingkat paling rendah yaitu knowlegde. Tetapi ketika tataran itu kita tarik pada tingkatan lebih tinggi; Bagaimana mengkomunikasikan perubahan setelah kita kembali ke sekolah? Bagaimana bentuk aplikasi di dalam kelas atau sekolah? Bagaimana membuat tahapan dalam mencapai pembaruan? Nah disinilah kita akan berdebat. Dan sangat mungkin pula ketika sampai disini kita akan menjawab: Sulit menerapkan apa yang kita lihat di sekolah tersebut!
Dalam bukunya Super Teaching, Eric Jensen (California,1998:9-10) menuliskan dalam salah satu sub babnya
Tanpa menutup mata dengan fakta-fakta yang ada haruslah kita akui bersama bahwa apa yang menjadi pernyataan Eric Jensen tersebut masih menjadi harapan bagi kita bersama untuk melihat sekolah-sekolah kita sebagai reformer. Terutama dalam kehidupan bernegara yang sedang berlangsung sekarang ini. Dan harapan ini kita gantungkan kepada semua yang berkecimpung dalam dunia pembelajaran di sekolah untuk terus melakukan perubahan dengan mengenakan kacamata ’mungkin’.
Berpeganglah kapada kausalitas. Kalau saja Allah SWT tidak pernah menutup ’perjalanan’ umatnya dengan ketidakmungkinan, maka mengapa kita sebagai hamba membatasi diri justru dengan ketidakmungkinan? Apakah itu karena kangkuhan kita? Kepandaian kita? Atau justru kebodohan kita?
Dan kepada teman guru: Lihatlah dunia ini dari kacamata ‘mungkin’!
No comments:
Post a Comment