Sebagaimana yang telah saya sampaikan dalam artikel sebelumnya tentang beda ekspektasi antara penilai kinerja, yaitu manajemen sekolah, dan yang dinilai, yaitu guru dan karyawan yang ada di sekolah, maka juga akan saya sampaikan berkenaan dengan beda sudut pandang. Ini perlu saya sampaikan juga bahwa dengan fakta dan bukti-bukti yang ada, tetapi dari sudut pandang yang berbeda, maka konklusinya menjadi berbeda. Dan ini sesuatu yang sah-sah saja. Tidak ada yang harus diributkan.
Misalnya, dengan semua bukti dan fakta yang telah diunjuk kerjakan oleh seorang guru kepada asesornya di sebuah unit sekolah, dan terjadi persepsi yang berbeda terhasil 'hasil' dari sebuah skor atau nilai diantara dua belah pihak, maka ini menjadi sesuatu yang lumrah sepanjang memang penilai dan yang dinilai berpegang teguh kepada fakta dan realita yang ada.
Mengapa? Seperti juga pada tataran anak-anak di dalam kelas, bahwa apa yang seorang anak lakukan dalam sebuah aktivitas kerja/belajar di dalam kelas menggunakan alat ukur individu anak tersebut. Tetapi manakala hasil kerja/belajar tersebut terkompilasi dengan hasil kerja/belajar semua anak di dalam kelas, maka guru akan melihat juga anak sebagai individu diantara individu siswa yang ada di dalam kelas tersebut.
Kenyataan ini yang menjadikan mengapa seolah-olah kepala sekolah atau menajemen sekolah sebagai orang yang menilai dinilai menyertakan subyektivitas terlalu dalam ketika memberikan penilaian kinerja kepada serang gurunya? Dan meski ada mediasi untuk menjembatani keberbedaan dengan pertemuan baik secara individu ataupun secara klasikal, tetap saja kenyataan 'rasa' berbeda itu nyata ada.
Jakarta, 27 Februari 2017.