"Kalau menemukan jalan tikus (jalan alternatif maksudnya), jangan bilang-bilang ke orang lain. Kalau bilang-bilang nanti bukan jalan tikus lagi." Demikian suatu saat di obrolan saya dengan orangtua siswa saya di tahun 1986 di saat acara ulang tahun salah satu siswa saya yang kebetulan berprofesi sebagai dokter di sebuah rumah sakit di wilayah Bekasi. Padahal beliau tinggal di daerah Cinere. Karena jarak yang tidak pendek itulah maka saya bertanya bagaimana sehari-hari beliau pergi dan pulang kantor? Maka itulah jawaban yang bersangkutan pada waktu itu.
Selain itu, beliau juga menyampaikan pendapatnya kepada kami yang ikut serta dalam lingkaran obrolan tersebut bahwa; "Di Jakarta, jauh dekat itu relatif Pak Agus. Yang utama adalah tidak macet." Demikian antara lain yang masih terekam dalam ingatan saya hingga sekarang ini.
Percakapan yang masih hangat dalam ingatan saya tersebut muncul kembali pada era mudik tahun ini, 2016. Seperti tahun-tahun sebelumnya, bahwa musim mudik memunculkan kemacetan di jalur yang dilalui pada jalur mudik yang sama dan waktu yang bersamaan. Perbedaannya dari tahun sebelumnya dengan tahun-tahun belakangan ini adalah tingkat kemacetan yang jauh lebih kompleks dan pastinya lebih panjang antriannya. Meski jalan terbangun dan telah dioperasikan sebagai sarana mudik.
Lalu bagaimana saya menyiasati kondisi seperti itu yang berulang pada setiap tahunnya pada musim mudik Idul Fitri? Supaya saya tidak masuk dalam kelompok yang terjebak dalam pilihan rute jalan dan waktu yang sama?
Sederhana saja. Pertama, Seperti pendapat orangtua siswa saya di tahun 1986 itu, bahwa saya membaca berita yang berkenaan dengan rute perjalanan mudik teman-teman serta berita tentang volume kendaraan yang ada. Pada hari ini, berita itu dapat saya akses jauh lebih up date dan jauh lebih lengkap
dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ini berkat dari teknologi komunikasi.
Berita tentang kemacetan di Republika. |
Kedua, Hasil dari apa yang dipercakapkan orang tersebut menjadi pegangan buat saya dalam diskusi dengan keluarga untuk berangkat kapan dan sekaligus mengemukakan rute jalan yang akan kami lalui. Ini penting supaya anggota keluarga saya bersiap secara lahir dan batin. Bahkan pilihan rute dan waktu berangkat pun, tidak jarang berubah, hanya untuk mengikuti arus kendaraan yang ada di berita. Sekali lagi, usaha ini tidak lain agar kami tidak terjebak pada pilihan rute jalan dan waktu mudik yang bersamaan dengan pemudik yang lain.
Ketiga, saya memilih apa yang kadang sebagian besar teman-teman pemudik tidak terpikir. Misalnya pengambilan rute mudik, yang kadang akan menempuh jalan lebih jauh dan berliku, yang pasti tidak semua orang akan malas melakukannya karena terpikir olehnya jauh. Tetapi saya memilih itu karena meski perjalanan akan jauh lebih jauh tetapi jauh lebih lancar. Sedang sebagian besar pemudik akan memilih rute jalan utama. Seperti jalur Pantura, Tol, atau Jalur selatan. Saya sering mengkombinasikan dengan perhitungan waktu sepi ketika masuk pada jalur kecil atau jalur alternatif.
Keempat, Beberapa teman yang bertanya kepada saya tentang pilihan jalur mudik yang sebagiannya adalah jalur wisata atau jalur alternatif, adalah; "Apakah Pak Agus tidak khawatir ada apa-apa ketika berada pada jalur sepi di saat yang tidak banyak orang?" Saya menjawabnya dengan apa yang menjadi pemikiran saya. Yaitu saya tidak berpikir yang tidak sesuai dengan harapan saya terhadap jalur mudik yang akan saya pilih. Jadi saya selalu optimis bahwa jalur yang saya pilih adalah jalur mudik yang akan memberikan nuansa baru yang menyenangkan bagi perjalanan mudik kami.
Itulah yang menjadikan anggota keluarga saya tetap menikmati perjalanan mudik dengan kendaraan sendiri meski dimusim padat, di masa mudik Idul Fitri.
Jakarta, 15 Juli 2016.
No comments:
Post a Comment