Saya membaca berita http://megapolitan.kompas.com/read/2011/07/29/10311085/Kepala.SD.Bekukan.Komite.Sekolah hari ini, Jumat tanggal 29 Juli 2011. "Kegiatan belajar mengajar di SDN Bambu Apus 04 Pagi di Jalan Laksamana VIII, Perumahan Padepokan TMII, Kelurahan Bambu Apus, Cipayung, Jakarta Timur, Kamis (28/7/2011), telah berjalan normal seperti biasa. Sebelumnya pada Rabu (27/7/2011), terjadi penyegelan yang dilakukan oleh wali murid. Aksi penyegelan ini terjadi karena adanya tuntutan para wali murid untuk mengganti Kepala Sekolah SDN Bambu Apus 04 Pagi..."
Berita itu masih berlanjut tentang dugaan korupsi yang dituduhkan oleh pihak orangtua siswa terhadap oknum kepala sekolah tersebut. Deg, saya jadi teringat dua teman baik saya yang menjadi guru dan kepala sekolah di sekolah negeri. Dua-duanya mejadi sahabat saya sejak masih di bangku Sekolah Pendidikan Guru. Keduanya juga adalah sosok guru yang pendidik. Setidaknya itulah keyakinan saya. Dan keyakinan itu juga memastikan (semoga Allah melindunginya dari perbuatan tercela. Amin), bahwa keduanya adalah sosok yang tidak korup.
Teman saya yang guru, sekarang sudah berada di golongan IV A. Mentok hingga ia berhasil membuat penelitian. Dengan golongannya itu, ia mendapat lebih dari dua kali untuk ikut serta menjadi peserta seleksi kepala sekolah yang diselenggarakan instansinya. Dua kali juga ia berada di urutan lima (5) besar kandidat di kecamatannya. Dari urutan itu, maka atasannya akan memberikan kesempatan untuk maju terlebih dahulu dan syukur-syukur nantinya terpilih sebagai kepala sekolah definitif. Namun dua kali juga ia menolak menjadi kepala sekolah. Penolakannya karena dirasakan dia tidak 'siap' sebagaimana isyarat yang diberikan oleh salah seorang selektor kepala sekolah.
Karena ia tidak akan 'siap', maka pengangkatan kepala sekolah jatuh kepada nama selain dia. Begitulah yang menjadi prinsip teman saya yang guru ini. Ia tidak akan 'siap' atau bahkan 'menyiapkan' sesuatu yang berada diluar kompetensi seorang kepala sekolah. Yang pada ujungnya, jabatan kepala sekolah itu tidak akan pernah menghampirinya.
Oleh karenanya, hingga detik ini, saat saya menulis artikel ini, ia tetaplah seorang guru. Meski golongan kepangkatannya, usianya, pendidikannya, kompetensinya, telah mencukupi untuk menjabata sebagai seorang kepala sekolah di sebuah sekolah negeri.
Teman saya yang lain adalah kepala sekolahdi tingkat sekolah dasar. Ia sekarang ini sedang sibuk luar biasa untuk berkompetisi menjadi pengawas pendidikan. Sebuah jabatan yang secara struktural lebih tinggi dari jabatanya sekarang ini.
Jakarta, 29 Juli 2011.
Berita itu masih berlanjut tentang dugaan korupsi yang dituduhkan oleh pihak orangtua siswa terhadap oknum kepala sekolah tersebut. Deg, saya jadi teringat dua teman baik saya yang menjadi guru dan kepala sekolah di sekolah negeri. Dua-duanya mejadi sahabat saya sejak masih di bangku Sekolah Pendidikan Guru. Keduanya juga adalah sosok guru yang pendidik. Setidaknya itulah keyakinan saya. Dan keyakinan itu juga memastikan (semoga Allah melindunginya dari perbuatan tercela. Amin), bahwa keduanya adalah sosok yang tidak korup.
Teman saya yang guru, sekarang sudah berada di golongan IV A. Mentok hingga ia berhasil membuat penelitian. Dengan golongannya itu, ia mendapat lebih dari dua kali untuk ikut serta menjadi peserta seleksi kepala sekolah yang diselenggarakan instansinya. Dua kali juga ia berada di urutan lima (5) besar kandidat di kecamatannya. Dari urutan itu, maka atasannya akan memberikan kesempatan untuk maju terlebih dahulu dan syukur-syukur nantinya terpilih sebagai kepala sekolah definitif. Namun dua kali juga ia menolak menjadi kepala sekolah. Penolakannya karena dirasakan dia tidak 'siap' sebagaimana isyarat yang diberikan oleh salah seorang selektor kepala sekolah.
Karena ia tidak akan 'siap', maka pengangkatan kepala sekolah jatuh kepada nama selain dia. Begitulah yang menjadi prinsip teman saya yang guru ini. Ia tidak akan 'siap' atau bahkan 'menyiapkan' sesuatu yang berada diluar kompetensi seorang kepala sekolah. Yang pada ujungnya, jabatan kepala sekolah itu tidak akan pernah menghampirinya.
Oleh karenanya, hingga detik ini, saat saya menulis artikel ini, ia tetaplah seorang guru. Meski golongan kepangkatannya, usianya, pendidikannya, kompetensinya, telah mencukupi untuk menjabata sebagai seorang kepala sekolah di sebuah sekolah negeri.
Teman saya yang lain adalah kepala sekolahdi tingkat sekolah dasar. Ia sekarang ini sedang sibuk luar biasa untuk berkompetisi menjadi pengawas pendidikan. Sebuah jabatan yang secara struktural lebih tinggi dari jabatanya sekarang ini.
- Apa motivasi untuk menjadi pengawas sekolah? Bukankah pengawas sekolah tidak akan mengelola dana BOS atau dana APBN/D? Tanya saya suatu kali ketika kami berkumpul untuk saling berbagi cerita beberapa bulan yang telah lalu.
- Disitulah nikmatnya Gus. Menjadi pengawas sekolah berarti adalah saya terbebas dari mempertanggungjawabkan dana yang memang sulit dipertanggungjawabkan. Jelasnya. Saya memang tidak berusaha untuk mengejar apa yang dia maksud dari kalimatnya tersebut. Namun teman lain yang berada di sebelah kami memberikan penjelasan betapa jabatan kepala sekolah juga menjadi 'mengerikan' bagi teman-teman saya itu.
Jakarta, 29 Juli 2011.
No comments:
Post a Comment