Hari ini, Rabu tanggal 27 Oktober 2010, dua koran yang ada di tangan saya menjadikan tiga bencana di tiga lokasi yang berbeda dengan skala derita yang berbeda pula, menjadi kepala berita. Di harian Republika, tiga berita bencana tersebut dimuat dihalaman pertama dalam judul; Mentawai Sukar Ditembus, Cuaca tak Bisa Diperkirakan, dan Wedhus Gembel Merapi Makan Korban. Demikian pula koran yang lain. Tiga berita bencana itu menjadi bagian yang penting untuk disampaikan kepada pembaca. Prihatin adalah perasaan duka yang dirasai oleh seluruh penduduk nusantara. Tentu berat bagi orang-orang yang mengalaminya di daerah bencana itu.
Bencana wedhus gembel merapi telah meninggalkan korban yang hangus. Baik kormbn manusia dan tempat tinggalnya dan juga alam sekitar yang terbakar oleh panasnya awan dari muntahan lahar merapi yang panasnya mencapai 600 derajat celsius dan bergerak dengan kecepatan 200 kilometer per jam. Mbah Maridjan, juru kunci dari Keraton Yogyakarta yang bertugas untuk mengawasi Gunung Merapi dipastikan meninggal bersamaan dengan korban lainnya di rumahnya (Republika, Rabu, 27 Oktober 2010).
Bencana kedua adalah Tsunami yang melanda wilayah Mentawai di Sumatera Barat. Menelan 449 korban jiwa meninggal. Belum termasuk yang hingga kini masih dinyatakan hilang 96 jiwa, korban denganluka berat 270 jiwa, dan luka ringan 142 jiwa, plus pengungsi sebanyak 14.983 jiwa (Kompas, 31 Oktober 2010).
Sedang bencana ketiga adalah banjir di Jakarta pada Jumat tanggal 22 Oktober 2010 dan Senin pada tanggal 25 Oktober 2010. Banjir yang membuat Jakarta menjadi kota yang lumpuh karena banyak ruas jalan yang tergenang air yang mengakibatkan kemacetan parah. Banyak pengguna jalan pada Senin, 25 Oktober 2010 itu yang menghabiskan waktu pulang kantoirnya di jalanan Jakarta antara 2 hingga 5 jam. Seperti yang dialami istri saya yang pulang dari kantornya di Cipete III, Jakarta Selatan pada pukul 17.00 dan baru sampai rumah di Slipi, Jakarta Barat pada pukul 22.30!
Bajir Jakarta yang menyebabkan beberapa wilayah kebanjiran dan kendaraan yang terjebak kemacetan itu membuat para korbannya mengekspresikan frustasunya dan kritikan kepada pemerintah DKI Jakarta, yang dipimpin oleh ahlinya, di berbagai media maya. Baik twitter, facebook, atau media messenger.
Dari peristiwa-peristiwa tersebut, masuk sms di seluler saya yang bernada mengajukan pertanyaan; apa makna dibalik angka 26? Dimana peristiwa bencana terjadi pada tanggal 26. Bahkan termasuk peristiwa tsunami Aceh. Saya menjawab: Maknanya adalah agar kita berpikir. Saya tidak mau terjebak oleh akal-akalan dengan cara otak atik angka yang seolah-oleh hasil analisa. Padahal menurut saya itu adalah bagian dari kleniknya orang berpendidikan. Karena saya mengangkat angka itu adalah bagian dari mutashabihat.
Dan yang terpenting menurut saya adalah, bagaimana perjalanan kita di masa depan dengan 'perimngatan' yang telah Allah sampaikan dengan banyaknya peristiwa tersebut. Masihkan kita terjebak dengan analisa dangkal hitungan angka?
Bencana wedhus gembel merapi telah meninggalkan korban yang hangus. Baik kormbn manusia dan tempat tinggalnya dan juga alam sekitar yang terbakar oleh panasnya awan dari muntahan lahar merapi yang panasnya mencapai 600 derajat celsius dan bergerak dengan kecepatan 200 kilometer per jam. Mbah Maridjan, juru kunci dari Keraton Yogyakarta yang bertugas untuk mengawasi Gunung Merapi dipastikan meninggal bersamaan dengan korban lainnya di rumahnya (Republika, Rabu, 27 Oktober 2010).
Bencana kedua adalah Tsunami yang melanda wilayah Mentawai di Sumatera Barat. Menelan 449 korban jiwa meninggal. Belum termasuk yang hingga kini masih dinyatakan hilang 96 jiwa, korban denganluka berat 270 jiwa, dan luka ringan 142 jiwa, plus pengungsi sebanyak 14.983 jiwa (Kompas, 31 Oktober 2010).
Sedang bencana ketiga adalah banjir di Jakarta pada Jumat tanggal 22 Oktober 2010 dan Senin pada tanggal 25 Oktober 2010. Banjir yang membuat Jakarta menjadi kota yang lumpuh karena banyak ruas jalan yang tergenang air yang mengakibatkan kemacetan parah. Banyak pengguna jalan pada Senin, 25 Oktober 2010 itu yang menghabiskan waktu pulang kantoirnya di jalanan Jakarta antara 2 hingga 5 jam. Seperti yang dialami istri saya yang pulang dari kantornya di Cipete III, Jakarta Selatan pada pukul 17.00 dan baru sampai rumah di Slipi, Jakarta Barat pada pukul 22.30!
Bajir Jakarta yang menyebabkan beberapa wilayah kebanjiran dan kendaraan yang terjebak kemacetan itu membuat para korbannya mengekspresikan frustasunya dan kritikan kepada pemerintah DKI Jakarta, yang dipimpin oleh ahlinya, di berbagai media maya. Baik twitter, facebook, atau media messenger.
Dari peristiwa-peristiwa tersebut, masuk sms di seluler saya yang bernada mengajukan pertanyaan; apa makna dibalik angka 26? Dimana peristiwa bencana terjadi pada tanggal 26. Bahkan termasuk peristiwa tsunami Aceh. Saya menjawab: Maknanya adalah agar kita berpikir. Saya tidak mau terjebak oleh akal-akalan dengan cara otak atik angka yang seolah-oleh hasil analisa. Padahal menurut saya itu adalah bagian dari kleniknya orang berpendidikan. Karena saya mengangkat angka itu adalah bagian dari mutashabihat.
Dan yang terpenting menurut saya adalah, bagaimana perjalanan kita di masa depan dengan 'perimngatan' yang telah Allah sampaikan dengan banyaknya peristiwa tersebut. Masihkan kita terjebak dengan analisa dangkal hitungan angka?
Jakarta, 27-31 Oktober 2010.
No comments:
Post a Comment