Saya menemui dan menemani tamu yang melakukan kunjungan studi di sekolah kami. Mereka rombangan dari sebuah Kabupaten di Jawa Timur yang dipimpin oleh Wakil Bupatinya. Rombongan ini terbilang lengkap untuk sebuah kerangka perubahan di sebuah Kabupaten yang mereka impikan. Ada dari ekskutif; Wakil Bupati, wakil dari Dinas Pendidikan, wakil dari sekolah dan juga dari Legeslatif; yaitu beberapa anggota DPRD yang membidangi pendidikan. Ini kami lakukan untuk membuat pilot project sebuah sekolah yang dapat diunggulkan. Demikian penjelasan kepala rombongan.
Namun setelah presentasi tentang sekolah yang kami sampaikan selesai, dilanjutkan kunjungan ke kelas-kelas dan melihat fasilitas yang ada, saya banyak mendengar kata-kata yang diungkapkan anggota rombongan yang tidak menyiratkan optimisme dan semangat Oh Ya!.
- "Sekolah ini luar biasa Pak Agus. Semua fasilitasnya lengkap. Semua serba kondusif untuk menjalankan program-program unggulan. Beda sekali dengan apa yang ada di sekolah kami. Apa yang bisa kami contoh ya Pak?" Kata salah satu anggota rombongan ketika berada di ruang Komputer.
- "Bagaimana ngak maju Pak, biaya yang dikeluarkan juga wah? Beda dengan kita yang di daerah." Kata anggota rombongan lainnya.
- "Luar biasa sekolah ini Pak. Jika sekolah ini nanti yang akan menjadi patokan kami di daerah, wah ngak kebayang bagaimana kami harus mengejar semuanya. Kami pesimis Pak Agus." Komentar yang lain lagi.
Pendek kata, banyak komentar anggota pengunjung yang datang ke sekolah kami yang bernada pesimis, minder, serta sama sekali tidak melihat bahwa diri dan potensi mereka memungkinkan untuk mampu berbuat apa yang telah kami capai atau bahkan melakukan sesuatu yang jauh lebih baik dan maju dari pada apa yang dilihatnya.
Dalam kehidupan kita sehari-hari, baik di ruang pelatihan atau ruang guru yang ada di sekolah, sikap semacam ini, sesungguhnya tidak hanya menjadi milik anggota rombongan studi lapangan itu saja. Banyak diantara kita ketika melihat sesuatu yang berbeda atau sesuatu yang baru atau juga sesuatu yang lebih baik dari apa yang telah menjadi milik kita hari ini, kita menyikapinya dengan nada yang tidak mencerminkan keoptimisan.
Banyak diantara kita ketika pada posisi itu pikiran pertama yang muncul adalah ketidakmungkinan. Dan pikiran dan sikap inilah, menurut saya, yang pertama harus kita singkirkan agar kita tidak selalu bangga dengan apa yang sudah kita punya. Kita harus berani atau nekat jika diperlukan untuk merubah pikiran dan sikap ketidakmungkinan tersebut menjadi mungkin!
Mengapa kita perlu terus menerus belajar dan melakukan studi banding jika dalam dasar benak kita hanya ketidakmungkinan yang akan kita rekomendasikan sebagai tindaklanjutnya? Bukankah jauh lebih efisien jika kita tetap tidak melakukan apa-apa jika konsep ketidakmungkinan yang menjadi jalan keluar setiap ikhtiar kita?
Maka sangat korelatif jika ikhtiar untuk maju dan berkembang serta tumbuh pada diri kita dan pada sebuah lembaga itu dilandasi pikiran dan sikap mungkin. Karena hanya dengan semangat mungkin-lah yang akan menghantarkan kita menuju tujuan yang telah kita buat dalam koordinat hidup kita sendiri-sendiri atau bersama-sama dalam sebuah lembaga yang bernama sekolah.
Semangat mungkin, hanya mampu dimiliki oleh kita yang menjadi penganut faham optimisme. Faham bahwa berubah adalah sebuah perjalanan hidup yang harus selalu dilalui. Semoga.
Jakarta, 1-12 April 2010
3 comments:
Wah udah kedahuluan "disclaimer" dari Pak Ihsan...
Saya nggak "nuduh lho..."
Hehehe....
Saya pernah memberikan tawaran kepada SMPN RSBI di luar Jawa untuk melihat beberapa sekolah Nasional Plus di Jakarta, kebetulan beberapa kepala sekolahnya teman-teman dekat saya. Eh..ditolak dengan halus, katanya "Kami akan mengunjungi sekolah yang sama saja." Akhirnya mereka mengunjungi sebuah SMPN RSBI di Jakarta.
Hehehe...jeruk nonton jeruk,
Salam,
S Agung Wibowo
--- In klubguruindonesia@ yahoogroups. com, "Mohammad Ihsan" wrote:
>
>
> Saya juga prihatin.
> Meskipun itu dari Jatim, tapi saya pastikan itu bukan dari Surabaya, kota saya, hehe.
>
> Ketika kita sudah memasukkan kata tidak mungkin, ini sulit, kayaknya nggak bisa, hasilnya ya memang tidak bakal kejadian alias gagal total. Satu lagi, kayaknya mereka melihat sekolah Mas Agus itu di posisi sudah bagus kayak sekarang, seharusnya mereka melihat bahwa sekolah yang maju sekarang itu pada awalnya juga seperti sekolah kebanyakan. Mereka maunya sukses secara instan. Sukses dari Hongkong?
>
> Mas Agus, thanks sudah berbagi..
>
> /MI
>
>
> Mohammad Ihsan
> Sekjen Ikatan Guru Indonesia (IGI)
> [E]: ihsan@...
> [W]: www.klubguru. com
>
> Sent from my BlackBerry®
>
>
> -----Original Message-----
> From: "AgungSmile"
Date: Mon, 12 Apr 2010 12:10:18
> To:
> Subject: [Klub Guru Indonesia] Re: Mungkin
>
> Adduhhh..sedih membacanya Pak Agus,
>
> S Agung Wibowo
From: "fekrynur" fekrynur@indosat.net.id>: pakguruonline@yahoogroups.com=
Kasihan ya pak Agus, jauh-jauh datang dari daerah lalu hanya untuk mengumbar pesimisme, ketidak berdayaan. Jangan-jangan jauh sebelum berangkat ke studi-banding mereka telah memasang niat untuk rekreasi, jalan-jalan semata.
Alhamdulillah dari ke 52 orang guru MIPA Sumbar yang pernah magang ke Perth tahun 2008 dan 2009 itu tidak kami dengar berkomentar peimistik. Mereka kagum dengan fasilitas yang ada di sekolah, negara maju itu, tetapi karena mereka datang kesana untuk memetik pengalaman dari penyelenggaraan proses belajar mengajar di kelas yang mereka ikuti selama magang. Guru kimia masuk ke kelas kimia di Australia, matematika, fisika dan biologi juga begitu. Mereka melihat proses. Pulangnya mereka berkomentar; ini yang bagus di mereka, dalam hal ini kita lebih baik, ... dan sebagainya.
Saya optimis, bila magang guru dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan membenahi pra dan pasca-nya dengan baik maka hasilnya akan menakjubkan.
Insya Allah
From: "Dini Indriani,S.Pd. Budiono" Add sender to ContactsTo: klubguruindonesia@yahoogroups.com
Thanks ceritanya pa Agus, membaca ini saya jadi teringat waktu saya sering mengunjungi sekolah lain baik di provinsi saya sendiri atau diprovinsi lain.Baik itu mendampingi tim Puskur atau studi banding yang merupakan program dari sekolah.Memang terkadang rasa pesimis itu muncul,karena mungkin kita punya seabrek program,tetapi gimana kalau tidak mendapat dukungan dari sekolah...dan sebagainya.. .dan sebagainya (hehe jadi curhat).
Tetapi sebagai seorang guru, rasa optimis itu memang harus ada, karena kitalah garda depan bangsa ini. Pada saat saya bertugas monitoring dan evaluasi ke pelosok-pelosok pedesaan (terkadang harus melewati sungai berjam-jam lamanya), potret perjuangan itu terekam dengan jelas.Justru pada saat yang sama di kota, banyak guru yang mengeluhkan fasilitas yang dirasa belum mencukupi.
Ambiguitas ini memang 'menodai' citra guru sebagai pejuang tanpa tanda jasa, walaupun semua pihak pasti memaklumi kenapa hal ini harus terjadi.Yang jelas tetap optimis para guru dalam mencerdaskan anak bangsa.
Salam hormat,
Dini
Post a Comment