Mengapa mesti repot-repot untuk melakukan atau untuk membuat kegiatan belajar menjadi lebih menarik, menyenangkan dan menantang siswa? Pernahkan kita mendengar kalimat seperti itu? Kalau belum pernah, mungkin ada baiknya saya akan menjelaskan apa yang pernah saya dengar.
Saya mendengarnya beberapa waktu lalu dengan seorang Kepala Bagian di sebuah lembaga. Ia menceritakan setelah kami meningalkan tangga Masjid seusai menunaikan Salat Magrib. Dia menceritakan ini mengingat himbauan dan ajakannya, sebagai panitia di sebuah kepanitiaan, yang mengharuskannya untuk mengundang teman-teman guru guna mengikuti pelatihan yang diselenggarakannya. Namun betapa kagetnya dia saat Pak Guru itu menolak tawarannya dengan kalimat yang lebih kurang seperti judul di atas.
Benar. Mengapa harus repot-repot? Harus membuat perencanaan yang lebih matang, yang oleh karenanya harus memerlukan informasi yang lebih banyak lagi berkenaan dengan ide tentang proyek belajar? Pilih saja kegiatan belajar yang pernah ada sebelumnya, yang tidak lagi menuntut kita untuk berusaha lebih keras lagi dalam pembuatan rencana. Flat saja. Lakukan seperti apa yang pernah kita lakukan. Lakukan sebagaimana biasanya. Tidak perlu lagi membuat sesuatu yang sebelumnya belum pernah kita lakukan. Karena itu berarti kita sedang menciptakan pekerjaan baru? Jadi, ngapain harus repot-repot?
Inilah logika bagi penganut faham: mengapa mesti repot-repot? Saya menyampaikan ini bukan karena berkepentingan dengan ada sebuah pembahruan di sebuah lembaga. Ini murni saya sampaikan karena betapa ruginya hidup bagi penganut faham itu.
Ada beberapa alasan mengapa saya memiliki kesimpulan seperti itu. Pertama, bahwa dalam usaha memperbaiki diri secara terus menerus guna mencapai derajat mulia atau yang bermartabat, maka proses melakukan sesuatu dengan cara yang berbeda dalam kerangka pengembangan, penumbuhan dan penyempurnaan adalah inti dari sebuah makna kata survive. Wujud paling nyata dari makna kata itu yang dapat kita saksikan bersama dalam kehidupan ini adalah, bagaimana pelaku usaha selalu merubah tampilan produknya dengan selalu menyesuaikan diri dengan apa yang sedang tumbuh dan hidup dipemakai produknya. Dan tanpa ikhtiar ini, maka berhentilah kelangsungan hidup usahanya (?).
Untuk itu maka guna mempertahankan eksistensi, diantara ikhtiar dan perjuangan untuk mendaatkanya dan wajib kita lakukan adalah untuk tidak sungkan melakukan sesuatu yang berbeda dengan tujuan mencapai pertumbuhan menuju yang lebih baik.
Kedua, Nikmatilah hidup ini dengan cara yang berbeda-beda. Maksudnya? Jangan pernah kita mau untuk melihat, mendengar, merasai, ataupun melakukan sesuatu dengan menggunakan kaoordinat yang sama. Linier terus menerus dan berkepanjangan. Jauh lebih baik kita menggunakan semangat eksploratif. Jika jalan berbeda yang kita tempuh dan karena itu kita akan menjadi gamang, jalan terus. Bukankah sesuatu yang berbeda kan membuat pengalaman kita bertambah dari apa yang kita lakukan kemarin? Bagaimana jika keberbedaan itu kita jadikan kredo berpikir dan bertindak kita, apakah tidak berarti kita jauh memiliki pengalaman yang lebih kaya? Lalu bagaimana dengan bertambahnya kerepotan yang harus kita jalani? Justru semakin repot itulah yang menjadikan pengalaman yang akan kita dapatkan menjadi lebih berharga.
Ketiga, Berpikirlah selalu dari kata mungkin. Bahwa tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Semua hal serba mungkin. Jika demikian, maka keberhasilan dan eksistensi yang orang lain dapatkan juga dapat pula menjadi bagian dari diri kita.
Dan sebelum saya berpisah dengan teman saya itu, saya sempat berguman pada diri sendiri. Bahwa orang yang mengatakan ngapain repot-repot itu sangat boleh jadi kalau dirinya berada pada posisi bahwa dia tidak tahu kalau ia menjadi bagian dari orang-orang yang tidak tahu. Kasihan.
Jakarta, 15 April 2010