Bagi pemudik, menjadi bagian dari sebuah kemacetan panjang yang memakan waktu dan menguras tenaga, sungguh-sungguh membutuhkan kesabaran, ketabahan, ketahanan dan stamina yang luar biasa. Namun kemudian akan menjadi cerita tersendiri saat kita berjumpa saudara ketika sampai tujuan. Itu antara lain yang saya dengar dari beberapa saudara dalam perjuangannya untuk menunaikan silaturahim dan reuni mudik Idul Fitri.
Ya saya dengar dari cerita saudara. Karena mereka berangkat selalu mepet dengan hari Idul Fitri 1 Syawal. Sedang saya, karena harus bersilaturahim dengan Ibu dari pihak istri yang ada di Jakarta, maka selalu menunaikan mudik setelah 1 Syawal. Dan terjebak macet yang tidak terlalu berarti. Tapi setelah semua bertemu di kampung halaman, kisah itu menjadi bumbu dari keseluruhan kisah perjuangan.
Kami sama-sama melihat fenomena tersebut sebagai romantika yang selalu siap kami tempuh pada mudik tahun berikutnya. Tak akan pernah kami kapok malakoni mudik satu milimeter pun!
Siang hari di kampung di masa mudik, kami selalu bercengkerama dengan sanak famili dan handaitualan yang mungkin setahun lalu kami terakhir bertemu. Hampir penghuni di satu kampung kami adalah bersaudara. Kami memanggil mereka dengan sebutan Mbah (simbah atau kakek), Pak dan Bu De, Pak dan Bu Lek (paman atau tante), Kakak, Adik dan mungkin juga cucu. Kamipun dipanggilnya Mbah, Pak De, Om, Mas, atau Adik. Butuh waktu khusus untuk benar-benar menyelesaikan seluruh kunjungan.
Dan karena istri sejak lahir tinggal di kota, biasanya kami akan pergi ke kota sebagai penutup hari itu.
Dan untuk memastikan seluruh anggota keluarga yang berkumpul terjamin konsumsinya, maka orangtua dan sebagian dari kami mengambil bagian untuk berjibaku memasak. Orangtua selalu menawarkan untuk memotong ayam atau peliharaan lain. Sedang kami yang datang dari kota akan meminta dipetikkan daun singkong dan kadang pula minta direbuskan gembili yang kami dapat di pasar (yang hanya buka dengan ketentuan hari). Boleh dikata, bagian dapur adalah bagian yang selalu sibuk hampir sepanjang hari.
Di malam hari, anak-anak kami yang sudah remaja kadang akan membuat makanan dari ayam bakar. Mereka akan memiliki pengalaman menyembelih ayam, membersihkan ayam dari bulu dan kotorannya, membuat bumbu, membuat perapian, dan membakarnya. Tentu dibawah panduan dari Om-nya yang tinggal di kampung.
Hari belum berakhir hingga kami semua disibukkan mencari tempat tidur. Dan bagi yang terlalu asyik ngobrol di depan tv, sangat boleh jadi dia akan sulit untuk mencari tempat mengistirahatkan badannya. Seluruh tempat di rumah kami nyaris terisi penuh. Kami tidak bicara dimana kamar yang kosong. Mengingat rumah orangtua kami hanya memiliki 5 bilik yang dapat dikatakan sebagai kamar. Dan tempat itu sudah ada jatah kepemilikannnya masing-masing. Kesulitan mendapatkan tempat tidur ini bagi keluarga kami memang khas masalah laki-laki, karena seluruh kamar menjadi jatah kaum hawa.
Inilah situasi mudik di rumah orangtua kami di Bagelen, Purworejo Jawa Tengah. Tapi ini yang selalu membuat kami rindu. Idul Fitri, adalah waktu yang membuat itu semua terjadi...
Ya saya dengar dari cerita saudara. Karena mereka berangkat selalu mepet dengan hari Idul Fitri 1 Syawal. Sedang saya, karena harus bersilaturahim dengan Ibu dari pihak istri yang ada di Jakarta, maka selalu menunaikan mudik setelah 1 Syawal. Dan terjebak macet yang tidak terlalu berarti. Tapi setelah semua bertemu di kampung halaman, kisah itu menjadi bumbu dari keseluruhan kisah perjuangan.
Kami sama-sama melihat fenomena tersebut sebagai romantika yang selalu siap kami tempuh pada mudik tahun berikutnya. Tak akan pernah kami kapok malakoni mudik satu milimeter pun!
Siang hari di kampung di masa mudik, kami selalu bercengkerama dengan sanak famili dan handaitualan yang mungkin setahun lalu kami terakhir bertemu. Hampir penghuni di satu kampung kami adalah bersaudara. Kami memanggil mereka dengan sebutan Mbah (simbah atau kakek), Pak dan Bu De, Pak dan Bu Lek (paman atau tante), Kakak, Adik dan mungkin juga cucu. Kamipun dipanggilnya Mbah, Pak De, Om, Mas, atau Adik. Butuh waktu khusus untuk benar-benar menyelesaikan seluruh kunjungan.
Dan karena istri sejak lahir tinggal di kota, biasanya kami akan pergi ke kota sebagai penutup hari itu.
Dan untuk memastikan seluruh anggota keluarga yang berkumpul terjamin konsumsinya, maka orangtua dan sebagian dari kami mengambil bagian untuk berjibaku memasak. Orangtua selalu menawarkan untuk memotong ayam atau peliharaan lain. Sedang kami yang datang dari kota akan meminta dipetikkan daun singkong dan kadang pula minta direbuskan gembili yang kami dapat di pasar (yang hanya buka dengan ketentuan hari). Boleh dikata, bagian dapur adalah bagian yang selalu sibuk hampir sepanjang hari.
Di malam hari, anak-anak kami yang sudah remaja kadang akan membuat makanan dari ayam bakar. Mereka akan memiliki pengalaman menyembelih ayam, membersihkan ayam dari bulu dan kotorannya, membuat bumbu, membuat perapian, dan membakarnya. Tentu dibawah panduan dari Om-nya yang tinggal di kampung.
Hari belum berakhir hingga kami semua disibukkan mencari tempat tidur. Dan bagi yang terlalu asyik ngobrol di depan tv, sangat boleh jadi dia akan sulit untuk mencari tempat mengistirahatkan badannya. Seluruh tempat di rumah kami nyaris terisi penuh. Kami tidak bicara dimana kamar yang kosong. Mengingat rumah orangtua kami hanya memiliki 5 bilik yang dapat dikatakan sebagai kamar. Dan tempat itu sudah ada jatah kepemilikannnya masing-masing. Kesulitan mendapatkan tempat tidur ini bagi keluarga kami memang khas masalah laki-laki, karena seluruh kamar menjadi jatah kaum hawa.
Inilah situasi mudik di rumah orangtua kami di Bagelen, Purworejo Jawa Tengah. Tapi ini yang selalu membuat kami rindu. Idul Fitri, adalah waktu yang membuat itu semua terjadi...
Jakarta, 24 September 2009/5 Syawal 1430 H.
No comments:
Post a Comment