Sesungguhnya, apa yang dimaksud dengan BELAJAR? Berikut ini adalah anekdot-anekdot yang dirinya kita dapat memaknai apa yang dimaksud dengan Belajar itu. Anekdot pertama adalah saat orangtua meminta anaknya untuk belajar di meja belajar, padahal si anak sedang asyik membaca buku cerita fiksi (novel anak). Si anak dengan sopan menjawab seruan orangtuanya dengan kata: ngak ada pekerjaan rumah (pr) Bunda. Orangtua tetap meminta si anak untuk duduk di meja belajar dan berujar: Nadia, kan dapat mengulang pelajaran kemarin untuk persiapan hari besok. Siapa tahu besok ada ulangan mendadak?
Keesokan harinya di sekolah guru tidak memberikan ulangan atau pertanyaan atau meminta siswa untuk membuat laporan apapun. Nadia tentu kecewa karena pelajaran yang telah disiapkan semalam tidak diulas di sekolah. Guru di sekolah melanjutkan materi pelajaran berikutnya. Padahal semalam ia harus meninggalkan bacaan fiksi yang lagi seru-serunya. Kembali di rumah Nadia protes sama Bundanya. Ia ngambek dengan langsung membuka buku fiksinya yang ia telantarkan gara-gara kemarin diminta Bundanya untuk mengulang pelajaran agar siap kalau esok gurunya mengadakan ulangan mendadak.
Jadi apakah yang dimaksud dengan belajar bagi Nadia? Bagaimana pula arti belajar dalam anekdot yang berikut ini? Saat pelajaran Sains, Diana, salah satu dari siswa SD masuk dalam kelompok untuk menerima tugas dari gurunya. Diana dan kawan-kawannya dengan pengawasan guru men-sweeping binatang yang ada di dalam lingkaran, yang terbuat dari tali rafia. Nama-nama binatang itu harus dicatat. Di dalam kelas dengan dipandu Bu Guru, siswa mendiskusikan arti komunitas dan habitat.
Pekerjaan rumah yang diberikan guru berupa tugas agar setiap siswa mencatat binatang-binatang yang ada di halaman rumah masing-masing atau lokasi lain yang berdekatan dengan rumahnya. Catatan tersebut akhirnya didiskusikan bersama di kelas pada pekan berikutnya. Hasil diskusi tersebut dibuat dalam bentuk laporan narasi tentang habitat, lalu dipajang di dinding pajangan di sekolah.
Jika kita adalah Nadia atau Diana, pola belajar yang manakah yang menjadi pilihan kita masing-masing? Apakah pola Nadia atau pola belajar Diana? Pola belajar manakah yang benar-benar hidup di masyarakat kita?
Dalam setiap pertemuan dengan pihak orangtua, saya selalu mengkomunikasikan mengenai belajar, proses pembelajaran, dan hasil-hasil belajar. Termasuk juga keunikan yang dimiliki siswa. Di sekolah, beberapa program kita coba lakukan seperti pajangan kelas, pertunjukkan kelas secara reguler dan event spesial, kita laksanakan secara reguler. Semua orangtua setuju. Karena itu merupakan cara Belajar yang relatif memberdayakan siswa.
Tetapi nilai anak saya harus baik juga pak. Begitu komentar salah satu orangtua. OK, kata saya. Nilai (angka) rapot siswa juga baik. Dan pada saat Pekan Kebudayaan Internasional, dimana setiap kelas memilih satu negara untuk menjadi tema yang akan dieksplorasi selama satu pekan secara terus menerus, siswa dan seluruh komunitas sekolah menikmatinya. Kegiatan pembelajaran berupa menggambar peta, cerita tentang negara-raja-pemerintahan-penduduknya-pertaniannya. Mengeksplorasi pariwisatanya, makanan khas, budaya, menginterview nara sumber, membuat laporan dan juga membuat cindera mata. Di akhir pecan sebagai puncak dari tema, siswa mempertontonkan perayaan sonkran yang dirayakan raja bersama rakyatnya di hadapan komunitas sekolah. Sesudah itu siswa, dengan membawa pasportnya masing-masing, berkeliling ke ‘negara-negara tetangga’ untuk tour.
Ketika usai saya tanya pada komunitas sekolah tentang Pekan Budaya. Inilah Jawaban mereka: Siswa: senang pak, selama pekan budaya ngak ada pelajaran! Kita main terus. Guru: Wah pak, kalau pelajaran tidk ada target kurikulum dan tidak ada ulangannya, kita jadi bisa kreatif ya pak . Orangtua: anak saya tiba-tiba tidak susah bangun pagi, rupanya kalau tidak ada pelajaran mereka jadi senang ke sekolah.
Pak Agus, saya sekarang sadar sebenar-benarnya betapa model pembelajaran seperti Pekan Budaya Internasional kemarin efektif buat anak saya. Mereka dalam satu pekan itu ternyata menyerap informasi tentang tempat wisata, nama raja, khas-khas yang ada, wilayah selatan yang Muslim dan utara yang Budha. Kenaikan kelas ini ia pingin sekali diajak mengunjungi pengembangan pertanian dan pemukiman Muslim di Thailand! Begitu komentar salah satu dari orangtua siswa terhadap hasil belajar yang diperoleh sang anak.
Tujuan Pendidikan Kita
Betulah panjang cerita tentang apa sesungguhnya yang mnjadi esensi dari kegiatan belajar yang hidup di masyarakat dan sekolah kita. Berikut ini adalah konsep pemerintah yang termuat dalam undang-undang No 20 Th 2003 tentang Sisdiknas berkenaan dengan tujuan pembelajaran. Dalam Bab II, Pasal 3: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Sedang tentang Proses Pembelajaran, inilah panduan yang terdapat dalam Kurikulum 2004 atau KBK (maaf, kita hanya menguji-cobakan saja).
Siswa Ingat Kegiatan Belajar
10 % Baca
20 % Dengar
30 % Lihat
50 % Lihat dan dengar
70 % Laporkan
90 % Lakukan dan laporkan
Melihat itu, maka apakah yang harus kita lakukan dalam mencermati masalah belajar siswa kita? Pertama, ubahlah cara pandang kita mengenai belajar. Dalam kenyataan sekarang ini terdapat empat mitos dalam belajar. Empat mitos belajar itu mengatakan bahwa; sekolah adalah tempat terbaik untuk belajar; kecerdasan bersifat tetap; pengajaran menghasilkan pembelajaran; kita semua belajar dengan gaya yang sama. (Jeanette Vos,2000).
Kedua, jadikan kegiatan membaca sebagai keterampilan hidup menuju pembelajar sepanjang hayat. Menjadi tugas kita untuk menjadikan seluruh komunitas sekolah sebagai warga belajar yang suka baca. Sejak dini siswa dapat kita berdayakan tidak saja bisa membaca tetapi menjadi suka. Peringkat suka membaca itu sendiri memiliki makna baginya (konsep AMBAK/apa manfaat bagiku).
Ketiga, berdayakan cakrawala berpikir anak melalui mengambilan hikmah dari suatu peristiwa/kejadian. Dalam setiap akhir pelajaran, guru harus membuat konklusi bersama siswanya mengenai apa yang telah mereka capai. Juga apa implikasinya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Keempat, berdayakan kompetensi non-akademik. Hasil belajar tidak saja domain kognitif yang terukur secara akademis. Hasil belajar lebih luas dari itu. Hasil belajar akademis adalah salah satu dari hasil belajar. Dan bukan satu-satunya. Berdayakan semua komunitas sekolah mengenai konsep belajar seperti itu melalui berbagai cara dan secara reguler.
(Sumber: Agus Listiyono dalam Harian PELITA, 28 Maret 2006)
1 comment:
Tulisan yang sangat bagus Pak! Keduca anekdot tadi menggambarkan dua 'makna' belajar dengan sangat jelas.
Post a Comment