Lama sekali draf tulisan ini tersimpan dalam folder blog. Saya sendiri telah melupakan keberadaannya. Bahkan, untuk masuk blog sendiri, nyaris terlupakan anak kunci yang mana yang harus saya masukkan ke lubangnya. Alhamdulillah, niat baik terlaksanana dengan baik.
Ini adalah pengalaman untuk kesekian kali saya bisa mampir ke resto yang berlokasi di puncak bukitnda buat saya setelah pertama sekali melihatnya dari kaca mata seorang pembonceng CB 100 di tahun 1980an. Betapa tidak, abak kampung miskin harus menatap sebuah resto yang bagus di lokasi yang super dingin di tahun tersebut. Sebuah momentum ketika saya berlibur ke rumah paman di Ambarawa dan juga paman di Candi, Semarang.
Lalu, ketika kesempatan berikutnya saya melintasi resto ini pada tahun 2009, saat istri paman saya yang di Ambarawa meninggal dunia. Di waktu lewat tengah malammani adik, kembali menum teh panas. Dan tahu pong. Namun, udara di tahun 2009 itu, di lewat tengah malam, sudah jauh berbeda. Saya tidak harus mengenakan kaos panjang untuk menahan dinginnya udara. Sudah berubah seperti suhu udara di Pakem, Slemen, Yogayakarta.
Dan terakhir kali, sebelum dunia di landa pandemi Covid-19, Desember 2019, sepulangnya dari perjalanan saya ke kampung halaman, mampir untuk santap siang di resto ini. Tidak dingin lagi suhu udaranya, tetapi jauh lebih sejuk dari pada kampung saya di pantai selatan Jawa Tengah.
Dan di akhir tahun, zaman normal tersebut, saya ditemani oleh istri dan anak bungsu. Selalu sama selain menyantap santapan siang, yaitu teh manis panas dan tentunya, tahu pong. Inilah yang menjadi kenangan terakhir saya sebelum pandemi yang mengharuskan saya tidak ke kampung halaman terselebih dahulu.
Jakarta, 24 September 2020
No comments:
Post a Comment