Siang itu saya yang sedang duduk menemani anak kelas 2 sedang melaksanakan kegiatan pembelajaran di plasa dihampiri oleh dua siswa kelas lima. Mereka berdua datang kepada saya sembari menenteng alat tulis dan papan tulis jalan.
"Apakah Pak Agus bersedia untuk diwawancarai?" Kata salah satu dari anak itu.
"Boleh sekali." Kata saya sembagi mengalihkan pandangan mata kepada mereka berdua yang sudah berada di hadapan saya. Dan setelah saya lihat mereka hanya membuat lima pertanyaan kepada saya.
"Apakah kalian berkelompok ada saat melakukan wawancara ini?" Tanya saya. Sebelum mereka berdua yang datang kepada saya, telah datang beberapa anak. Dengan pertanyaan yang relatif sama dan dengan jawaban yang mengutarakan pengalaman 'dahsyat ' atau penuh hikmah bagi saya pribadi, yang pernah saya alami. Jadi kehadiran mereka berdua saat itu tidak lagi menjadi pertanyaan saya.
"Betul Pak Agus. Kami satu kelompok. Harusnya kami ber-lima Pak. Tapi tiga anggota kelompok kami sedang mencari nara sumber untuk dapat diwawancarai." Jelas anak itu.
"Apakah pertanyaan kalian saya dengan kelompok yang sebelumnya datang kepada Pak Agus? Kalau sama ini jawabannya." Kata saya. Dan saya kemukakan bahwa saya mempunyai pengalaman kurang enak yang terkenang selalu. Yaitu ketika saya tersesat di jalan. Dan itu terjadi sekitar tahun 1976 di Punggur, Lampung Tengah.
Namun bukan itu yang yang menjadi fokus dari kedua anak tersebut ketika mewawancarai saya. Setelah selesai saya menyampaikan jawaban atas pertanyaan mereka, mereka justru bertanya kepada saya.
"Apa hebatnya Pak dengan pengalaman tersesat itu?" Saya tentu mencoba membuat argumentasi mengapa saya tersesat menjadi bagian hidup yang tidak terlupakan? Maka saya sampaikan bahwa itu pengalaman ketika saya berusia tidak lebih dari 8 tahun. Ketika Bapak saya menitipkan saya kepada tukang potong rambut agar saya tidak pergi setelah beliau selesai memotong rambut saya. Bapak saya tidak menunggui saya karena usai menghantarkan saya ke tukang potong rambut beliau kembali ke kantornya yang tidak jauh dari Pasar Punggur. Yang pada tahun itu kendaraan yang lalui lalang hampir semuanya adalah sepeda. Beberapa saja yang merupakan sepeda motor. Dengan kondisi jalanan utama yang sudah beraspal.
Nasehat itu ternyata tidak saya patuhi. Karena saya mencoba menemui Bapak di kantornya ketika si tukang potong rambut itu sedang memotong rambut langganan berikutnya. Namun sial. Ancar-ancar yang menjadi patokan saya tentang lokasi kantor Bapak ternyata tidak terlalu jelas. Maka setelah lebih kurang 2 jam saya berjalan kaki, dan tidak juga menemui kantor Bapak, saya berinisiatif kembali menyusuri jalan yang telah saya lalui.
Namun setelah selesai saya memberikan ilustrasi bagaimana bermaknanya pengalaman tersesat jalan itu, satu dari anak tersebut menyampaikan usul kepada saya.
"Apa lagi pengalaman yang bermakna bagi hidup Bapak." katanya sembari bersiap menuliskan apa yang akan saya utarakan.
"Loh sama seperti apa yang Pak Agus sampaikan kepada temanmu itu. Bukankah kalian dalam satu kelompok?" Kata saya kepadanya.
"Saya tidak mau sama Pak. Pasti Pak Agus punya banyak pengalaman hidup yang lain." Katanya berargumentasi.
Saya mencoba berpikir apa kiranya pengalaman hidup yang saya miliki yang memang menjadi pelajaran dalam perjalanan hidup saya, yang dapat saya sampaikan kepada anak tersebut. Selain saya sendiri merasa bangga atas kepintaran anak itu...
"Apakah pertanyaan kalian saya dengan kelompok yang sebelumnya datang kepada Pak Agus? Kalau sama ini jawabannya." Kata saya. Dan saya kemukakan bahwa saya mempunyai pengalaman kurang enak yang terkenang selalu. Yaitu ketika saya tersesat di jalan. Dan itu terjadi sekitar tahun 1976 di Punggur, Lampung Tengah.
Namun bukan itu yang yang menjadi fokus dari kedua anak tersebut ketika mewawancarai saya. Setelah selesai saya menyampaikan jawaban atas pertanyaan mereka, mereka justru bertanya kepada saya.
"Apa hebatnya Pak dengan pengalaman tersesat itu?" Saya tentu mencoba membuat argumentasi mengapa saya tersesat menjadi bagian hidup yang tidak terlupakan? Maka saya sampaikan bahwa itu pengalaman ketika saya berusia tidak lebih dari 8 tahun. Ketika Bapak saya menitipkan saya kepada tukang potong rambut agar saya tidak pergi setelah beliau selesai memotong rambut saya. Bapak saya tidak menunggui saya karena usai menghantarkan saya ke tukang potong rambut beliau kembali ke kantornya yang tidak jauh dari Pasar Punggur. Yang pada tahun itu kendaraan yang lalui lalang hampir semuanya adalah sepeda. Beberapa saja yang merupakan sepeda motor. Dengan kondisi jalanan utama yang sudah beraspal.
Nasehat itu ternyata tidak saya patuhi. Karena saya mencoba menemui Bapak di kantornya ketika si tukang potong rambut itu sedang memotong rambut langganan berikutnya. Namun sial. Ancar-ancar yang menjadi patokan saya tentang lokasi kantor Bapak ternyata tidak terlalu jelas. Maka setelah lebih kurang 2 jam saya berjalan kaki, dan tidak juga menemui kantor Bapak, saya berinisiatif kembali menyusuri jalan yang telah saya lalui.
Namun setelah selesai saya memberikan ilustrasi bagaimana bermaknanya pengalaman tersesat jalan itu, satu dari anak tersebut menyampaikan usul kepada saya.
"Apa lagi pengalaman yang bermakna bagi hidup Bapak." katanya sembari bersiap menuliskan apa yang akan saya utarakan.
"Loh sama seperti apa yang Pak Agus sampaikan kepada temanmu itu. Bukankah kalian dalam satu kelompok?" Kata saya kepadanya.
"Saya tidak mau sama Pak. Pasti Pak Agus punya banyak pengalaman hidup yang lain." Katanya berargumentasi.
Saya mencoba berpikir apa kiranya pengalaman hidup yang saya miliki yang memang menjadi pelajaran dalam perjalanan hidup saya, yang dapat saya sampaikan kepada anak tersebut. Selain saya sendiri merasa bangga atas kepintaran anak itu...
Jakarta, 9-13.09.2016
No comments:
Post a Comment