Beberapa waktu lalu, saya pernah menyentuh opini di harian Kompas yang berbicara tentang pendapat seorang penulis tentang perubahan kurikulum. Diantaranya penulis tersebut mempertanyakan apakah sebenarnya yang berubah dari beberapa Kurikulum yang selama ini terjadi di ranah pendidikan kita. Karena, begitu lebih kurang pendapatnya, pendekatan kurikulum yang ada dari beberapa kurikulum yang pernah diberlakukan itu, termasuk K-13, sama dan sebangun. Oleh karenanya lahir pertanyaannya; Kalau memang tidak ada yang berubah dari konsep pendekapatan belajar yang diinginkan pada kurikulum-kurikulum tersebut, maka mengapa pada Kurikulum 2013 justru ditolak?
Bertemu Guru
Lebih kurang dengan berangkat dari pendapat itu jugalah maka saya bertemu guru-guru pada Jumat, 9 Januari 2015 lalu untuk sedikit memberikan pertimbangan dan pencerahan atas kegalauan mereka belakangan ini tentang K-13 tersebut. Meski pertemuan hanya satu sesi yang lebih kurang 2 jam ( 2 x 60 menit ), saya mencoba memberikan gambaran yang lebih kurang lumayan, tentang sikuensi konsep dari KBK, KTSP, hingga kemudian Kurikulum 2013.
Baik sejak dari konsep baru yang didengungkan sebagai kompetensi, yang kali pertama lahir bersamaan dengan KBK di awal tahun 2000an dengan Kompetensi Lintas Kurikulumnya, Kompetensi Dasarnya serta pengembangan Silabusnya, Juga konsepsi Penilaian Berbasis Kelas atau PBK yang sudah juga memberikan panduan kepada kita sebagai guru untuk menilai kinerja secara autentik serta pelaporannya yang dapat disertai dengan penilaian porto folio.
Perjalanan konsep-konsep tersebut mengalir hingga bermuara kepada Kurikulum 2013, yang nasibnya disampaikan pada tanggal 5 Desember 2014 lalu diumumkan penetapannya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI., yang kemudian dalam bentuk Peraturan Menteri Nomor 160 tahun 2014. Apa isi dari Permen Dikbud tersebut? Semua sudah mengetahui dan bahkan sudah mengalami bagaimana hiruk pikuknya hingga sekarang ini.
Di akhir pertemuan kami itu, saya menyuguhkan sebuah permainan tentang bagaimana esensi menilai siswa. Games ini pernah saya dapat ketika ikut dalam sebuah pelatihan sebagai guru IB di tahun 2001.
Ada tiga guru yang menjadi relawan untuk dinilai tepuk tangannya oleh dua juri. Relawan pertama langsung diminta masuk ruangan dimana kami berada untuk bertepuk tangan. Usai bertepuk tangan, kedua juri memberikan nilainya. Tentu si relawan pertama kaget kalau ternyata dia akan dinilai tepuk tangannya. repotnya, si juri pun juga belum menentukan komponen atau kompetensi apa yang dinilai dari bertepuk tangan itu. Tetapi nilai telah dijatuhkan oleh juri.
Maka langkah berikutnya adalah membuat atau menentukan kompetensi apa yang akan dinilai si juri itu kepada relawan kedua. Setelah disepakati kompetensinya, maka relawan kedua masuk untuk bertepuk tangan dan nilai dijatuhkan. Dan relawan kedua pun masih tidak tahu apa saja yang akan dinilai oleh juri. Karena ia hanya mendapatkan perintah untuk bertepuk tangan yang akan dinilai.
Tentunya, dua relawan tersebut kurang memberikan kepuasan kepada mereka atas kinerja yang didapatkan dari juri.
Maka giliran relawan terakhir, relawan ketiga dipanggil masuk ruangan, disampaikanlah apa yang harus dilakukan untuk dinilai oleh juri dengan parameter penilaiannya. Dengan melihat apa yang diharapkan dari dirinya saat bertepuk tangan itu, relawan ketiga ini bersiap dan melakukan apa yang diharapkannya itu dengan lebih baik di hadapan juri.
Itulah gambaran yang saya sampaikan kepada teman-teman guru yang hadir di siang itu. Itu adalah konsep penilaian rubrik yang dikehendaki, yang memberikan cerminan keterbukaan dan akuntabel. Penilaian berbasis kepada kompetensi yang diinginkan.
Pertanyaanya; Di kurikulum apakah konsep penilaian tersebut?
Jakarta, 14 Januari 2015.
No comments:
Post a Comment