"Tahun depan saya harus ajak suami saya mudik Pak Agus." Demikian ungkap seorang teman yang mengajar di TK ketika saya menyampaikan indahnya alam Indonesia pada saat pertemuan rutin dengan mereka di hari pertama masuk sekolah setelah libur Idul Fitri, yang antara lain bercerita tentang perjalanan mudik saya beberapa waktu lalu.
"Mengapa harus demikian? Bukankah tahun ini Ibu juga bisa mudik?" Tanya saya kepadanya. Karena toh, anak-anak ibu tersebut, sepanjang saya tahu sudah besar-besar, yang tidak lagi membuatnya repot dalam mempersiapkan perjalanan darat yang panjang. Selain juga tentunya kendaraan.Dan, bukankah suami itu itu berasal dari sebuah kampung yang ada di Tasikmalaya, Jawa Barat, yang tidak jauh bila ditempuh dengan kendaraan darat sekalipun?
"Benar Pak. Sebelum-sebelumnya, sejujurnya, saya tidak suka mudik di saat Idul Fitri bila diajak suami. Tetapi setelah mendengar cerita Pak Agus tentang serunya mudik, saya benar-benar ingin mencobanya." Paparnya dengan penuh antusias. Dan pada saat saya bertanya kepadanya mengapa ia tidak terlalu antusias untuk melakukan perjalanan mudik, ibu itu buka kartu bahwa pada setiap mudik, suaminya selalu melakukan ritual perjalanan yang selalu serupa. Jalan yang dilalui baik saat berangkat dari Jakarta menuju kampung halaman yang berada di Tasikmalaya, dan mengisi waktu ketika di kampung, hanya semacam rutinitas.
Karenanya, sebagai anak yang lahir dan besar di Jakarta, yang selalu berada dalam keramaian akan hiruk pikuknya kota di siang hari dan panorama lampu pijar dan lampu neon di malam hari, akan menjadi terasing ketika berada di tempat sepi ketika di kampung, atau bahkan di malam yang hitam menjadikan perasaannya dihuni oleh rasa ketidakbetahan. Dengan begitu, maka perjalanan dan keberadaan di kampung sebagaimana yang ia jalani selama ini, tidak lebih adalah untuk bakti kepada suami.
Dan ketika mendengar bagaimana saya menikmati perjalanan mudik, yang kemudian saya maknai juga sebagai perjalanan wisata, ia berbinar-binar ketika mengutarakan niatannya untuk mudik di musim lebaran tahun depan. Ada mimpi yang akan ditawarkan kepada suaminya agar mudik tahun depan lebih ditingkatkan kebermaknaannya. Ia akan menawar agar rute jalan yang dilaluinya tidak selalu Jakarta - Purbalenyi - Nagreg - Limbangan- dan seterusnya serta sebaliknya. Ia akan sekali waktu meminta melalui Garut, atau mungkin berputar melalui Purwakarta - Sumedang? Atau mungkin setelah melalui Garut akan meminta suaminya untuk melanjutkan perjalanan ke arah selatan hingga Pamengpeuk?
Jakarta, 15 September 2012.
No comments:
Post a Comment