Bagaimana membelajarkan siswa menulis dan membaca di kelas satu sekolah dasar? Setidaknya inilah pengalaman saya di saat awal-awal saya menjadi guru SD kelas satu, tahun 1986 hingga tahun 1992 di Sekolah Islam Al Ikhlas, Cipete, Jakarta Selatan. Meski mungkin ini pengalaman yang kurang mengena buat Anda. Tetapi inilah fondasi bagi karir saya sebagai pendidik hingga hari ini, yang harus saya ikat dalam tulisan.
Tahun 1986, diusia saya yang masih belia untuk memegang amanah sebagai pendidik di sekolah formal. Tetapi itulah realita yang harus saya jalani. Lulus dari sekolah pendidikan guru (SPG) yang setingkat SMA tahun 1984, dan pada Juli '86 benar-benar memegang amanah penuh sebagai guru kelas. Yang berarti diusia saya yang ke 22 tahun.
Dengan 40 siswa yang ada di dalam kelas. Dengan pengantar para Suster dan Ibu-Ibu yang saya kira berusia tidak jauh terpaut dengan saya. Dengan kebiasaan mereka menunggu di depan kelas atau bahkan dengan wajah yang melongok ke dalam kelas melalui jendela kelas sepanjang waktu putra atau putri mereka ada dalam jam belajar bersama saya. Kenyataan seperti ini sungguh membuat saya menjadi sangat tidak nyaman untuk mengajar. Maka lengkaplah beban tugas saya itu memberati batin dan pikiran saya. Tertekan.
Beruntung bahwa, saya menyimak sekali apa yang menjadi pesan guru mata pelajaran Pedagogi dan juga guru Metodologi Belajar dikala SPG agar kita menguasai lagu-lagu anak dan juga beberapa cerita anak. Terutama bila kita bertugas mengajar atau menjadi guru di kelas rendah di SD. Dengan modal itulah saya mengawali jam, hari, minggu, dan bulan pertama saya dengan menyanyi dan bercerita. Dan saya relatif mendapat 'simpatí' siswa. Namun apakah selesai dengan simpati yang telah saya peroleh? Belum. Karena satu tahun pelajaran ada selama tiga catur wulan. Maka inilah lebih kurang catatan saya sepanjang perjalanan itu. Paling tidak sedikit kilas balik tentang apa yang pernah saya alami dulu. Yang tentu saja berbeda sama sekali dengan kondisi kelas rendah di SD saat ini. Berbeda.
Catatan masa lalu yang bagaimanapun serta apapun juga, adalah fondasi bagi pertumbuhan diri saya selanjutnya dalam menapaki amanah sebagai guru. Masa yang selalu menjadi bagian yang akan melekat dan tidak terpisahkan dalam hidup saya. Yang selalu menjadi unsur dalam pertumbuhan profesionalisme dan etos kerja saya.
Belajar Menulis
Salah satu tugas berat saya sebagai guru kelas satu SD adalah belajar menulis. Bahkan Pada hal yang paling awal sekalipun dalam belajar. Kendala dalam belajar menulis itu tidak pernah menjadikan saya tertekan. Seperti yang saya sampaikan di atas, rasa tertekan justru datang karena pada hari-hari pertama mengajar dengan beberapa siswa yang ditungguin Ibu dan baby sitter-nya. Bahkan dua tiga atau bahkan empat orangtua siswa duduk bersama anaknya di dalam kelas ikut proses belajar. Itulah situasi menekan yang tidak bisa tidak harus saya hadapi dengan lapang dada dan tabah.
Mungkin siswa tidak mau ditinggal dan selalu minta ditungguin karena merasa tidak nyaman dan meresa takut. Dan boleh jadi perasaan itu muncul antara lain karena sayanya. Mungkin juga karena situasinya. Sehingga rasa percaya diri itu menjadi miliknya. Syukurnya situasi demikian berlangsung hanya pada bulan peertama di catur wulan awal saja. Selanjutnya saya dapat dengan lega menghadapi siswa tanpa ada orangtua dan baby sitter.
Tetapi mungkin darí sinilah beberapa orangtua yang ikut duduk di samping anaknya yang belum berani ditinggal itu melihat dan menghitung bagaimana repotnya saya yang harus membukakan buku tulis anak-anak dan halamannya sebelum belajar menulis dimulai. Dan ini harus saya lakukan untuk ke-40 siswa yang ada di kelas. Jadi kalau saya membantu menyiapkan buku tulis siswa mulai dari deretan tempat duduk paling kanan dari baris depan sampai baris belakang terus hingga deret bangku paling kiri. Maka belajar menulis mungkin baru siap 15-20 menit sesudah saya meminta mereka membuka buku. Ini mungkin salah satu yang beda antara kelas satu SD waktu itu dengan sekarang.
Belajar Membaca
Lalu bagaimana dengan kegiatan belajar membaca? Ini juga menjadi tugas berat saya yang lain lagi. Inipun saya lakukan di kelas dengan romantika yang berliku. Karena pada akhir empat bulan pertama masih ada lebih kurang sepuluhan siswa yang masih terbata-bata mengeja huruf saat membaca.
Maka dari sekian puluh siswa saya itu saya berikan tambahan waktu belajar. Pada saat itulah saya dapat benar-benar menikmati bagaimana seorang anak menggunakan sarana berpikirnya dalam 'belajar' membaca. Darí sinilah saya menemukan metode konsisten. Yaitu strategi atau cara untuk membantu siswa agar bisa membaca. Sebuah strategí yang terus menerus kita gunakan. Dengan belajar membaca seperti ini sangat dimungkinkan siswa yang bisa membaca belum tentu akan menjadi suka membaca karena mereka belum tentu tahu apa arti kata-kata yang dilafalkannya. Sebaliknya siswa yang gemar membaca pasti adalah yang bisa membaca.
Saya menggenalkan cara suku kata untuk membelajarkan mereka bisa membaca. Siswa saya sodori suku kata na ni un ne no. Sebelumnya huruf vokal a i u e o. Dari modal ini saya mengajak siswa untuk membuat kata. Ana ani ina nana nina nani dan seterusnya. Persis seperti belajar Iqra dalam membaca Al Qur'an. Konsistensi ini membuahkam hasil. Maka pada akhir tahun pelajaran saya mendapati siswa saya telah bisa membaca.
Bisa vs Suka Membaca
Tahap berikut setelah siswa bisa membaca adalah bagaimana supaya mereka suka membaca. Karena ketika melafalkan teks bahasa tidak dipahami maknanya, maka kegoiatan membaca hanya sebatas menyelesaikan tugas. Dia menguap begitu saja tanpa bekas. Namun kenyataan ini tidak menjadi kesadaran saya seketika dikala itu. Kenyataan ini saya sadari setelah siswa tetap kesulitan memberikan makna terhadap teks yang dibacanya sehingga mereka tetap kesulitan menjawab pertanyaan saat ulangan berlangsung di akhir catur wulan.
Apa usaha saya? Sesering mungkin saya meminta siswa untuk membaca bacaan untuk kemudian saya mengajak mereka memberi makna. Saya memberikan pertanyaan; Siapa yang menjadi tokoh dalam cerita itu? Siapa tokoh baiknya? Siapa tokoh yang tidak baik? Apa yang membuat kita suka pada tokoh baik? dan seterusnya.
Tidak jarang saya memberikan pekerjaan rumah bebas seputar membaca dan menulis ini. Misalnya; Dikte bebas dengan ayah atau ibu 10 baris dengan menulis huruf sambung. Atau; Membaca cerita bebas. Saya melihat dengan cara ini siswa menikmati. Karena empat atau tujuh dari cerita mereka akan sauya bacakan setelah saya mengoreksi dan memberikan ponten.
Inilah kisah saya di kelas satu...
Jakarta, 7-18 Desember 2010.
Tahun 1986, diusia saya yang masih belia untuk memegang amanah sebagai pendidik di sekolah formal. Tetapi itulah realita yang harus saya jalani. Lulus dari sekolah pendidikan guru (SPG) yang setingkat SMA tahun 1984, dan pada Juli '86 benar-benar memegang amanah penuh sebagai guru kelas. Yang berarti diusia saya yang ke 22 tahun.
Dengan 40 siswa yang ada di dalam kelas. Dengan pengantar para Suster dan Ibu-Ibu yang saya kira berusia tidak jauh terpaut dengan saya. Dengan kebiasaan mereka menunggu di depan kelas atau bahkan dengan wajah yang melongok ke dalam kelas melalui jendela kelas sepanjang waktu putra atau putri mereka ada dalam jam belajar bersama saya. Kenyataan seperti ini sungguh membuat saya menjadi sangat tidak nyaman untuk mengajar. Maka lengkaplah beban tugas saya itu memberati batin dan pikiran saya. Tertekan.
Beruntung bahwa, saya menyimak sekali apa yang menjadi pesan guru mata pelajaran Pedagogi dan juga guru Metodologi Belajar dikala SPG agar kita menguasai lagu-lagu anak dan juga beberapa cerita anak. Terutama bila kita bertugas mengajar atau menjadi guru di kelas rendah di SD. Dengan modal itulah saya mengawali jam, hari, minggu, dan bulan pertama saya dengan menyanyi dan bercerita. Dan saya relatif mendapat 'simpatí' siswa. Namun apakah selesai dengan simpati yang telah saya peroleh? Belum. Karena satu tahun pelajaran ada selama tiga catur wulan. Maka inilah lebih kurang catatan saya sepanjang perjalanan itu. Paling tidak sedikit kilas balik tentang apa yang pernah saya alami dulu. Yang tentu saja berbeda sama sekali dengan kondisi kelas rendah di SD saat ini. Berbeda.
Catatan masa lalu yang bagaimanapun serta apapun juga, adalah fondasi bagi pertumbuhan diri saya selanjutnya dalam menapaki amanah sebagai guru. Masa yang selalu menjadi bagian yang akan melekat dan tidak terpisahkan dalam hidup saya. Yang selalu menjadi unsur dalam pertumbuhan profesionalisme dan etos kerja saya.
Belajar Menulis
Salah satu tugas berat saya sebagai guru kelas satu SD adalah belajar menulis. Bahkan Pada hal yang paling awal sekalipun dalam belajar. Kendala dalam belajar menulis itu tidak pernah menjadikan saya tertekan. Seperti yang saya sampaikan di atas, rasa tertekan justru datang karena pada hari-hari pertama mengajar dengan beberapa siswa yang ditungguin Ibu dan baby sitter-nya. Bahkan dua tiga atau bahkan empat orangtua siswa duduk bersama anaknya di dalam kelas ikut proses belajar. Itulah situasi menekan yang tidak bisa tidak harus saya hadapi dengan lapang dada dan tabah.
Mungkin siswa tidak mau ditinggal dan selalu minta ditungguin karena merasa tidak nyaman dan meresa takut. Dan boleh jadi perasaan itu muncul antara lain karena sayanya. Mungkin juga karena situasinya. Sehingga rasa percaya diri itu menjadi miliknya. Syukurnya situasi demikian berlangsung hanya pada bulan peertama di catur wulan awal saja. Selanjutnya saya dapat dengan lega menghadapi siswa tanpa ada orangtua dan baby sitter.
Tetapi mungkin darí sinilah beberapa orangtua yang ikut duduk di samping anaknya yang belum berani ditinggal itu melihat dan menghitung bagaimana repotnya saya yang harus membukakan buku tulis anak-anak dan halamannya sebelum belajar menulis dimulai. Dan ini harus saya lakukan untuk ke-40 siswa yang ada di kelas. Jadi kalau saya membantu menyiapkan buku tulis siswa mulai dari deretan tempat duduk paling kanan dari baris depan sampai baris belakang terus hingga deret bangku paling kiri. Maka belajar menulis mungkin baru siap 15-20 menit sesudah saya meminta mereka membuka buku. Ini mungkin salah satu yang beda antara kelas satu SD waktu itu dengan sekarang.
Belajar Membaca
Lalu bagaimana dengan kegiatan belajar membaca? Ini juga menjadi tugas berat saya yang lain lagi. Inipun saya lakukan di kelas dengan romantika yang berliku. Karena pada akhir empat bulan pertama masih ada lebih kurang sepuluhan siswa yang masih terbata-bata mengeja huruf saat membaca.
Maka dari sekian puluh siswa saya itu saya berikan tambahan waktu belajar. Pada saat itulah saya dapat benar-benar menikmati bagaimana seorang anak menggunakan sarana berpikirnya dalam 'belajar' membaca. Darí sinilah saya menemukan metode konsisten. Yaitu strategi atau cara untuk membantu siswa agar bisa membaca. Sebuah strategí yang terus menerus kita gunakan. Dengan belajar membaca seperti ini sangat dimungkinkan siswa yang bisa membaca belum tentu akan menjadi suka membaca karena mereka belum tentu tahu apa arti kata-kata yang dilafalkannya. Sebaliknya siswa yang gemar membaca pasti adalah yang bisa membaca.
Saya menggenalkan cara suku kata untuk membelajarkan mereka bisa membaca. Siswa saya sodori suku kata na ni un ne no. Sebelumnya huruf vokal a i u e o. Dari modal ini saya mengajak siswa untuk membuat kata. Ana ani ina nana nina nani dan seterusnya. Persis seperti belajar Iqra dalam membaca Al Qur'an. Konsistensi ini membuahkam hasil. Maka pada akhir tahun pelajaran saya mendapati siswa saya telah bisa membaca.
Bisa vs Suka Membaca
Tahap berikut setelah siswa bisa membaca adalah bagaimana supaya mereka suka membaca. Karena ketika melafalkan teks bahasa tidak dipahami maknanya, maka kegoiatan membaca hanya sebatas menyelesaikan tugas. Dia menguap begitu saja tanpa bekas. Namun kenyataan ini tidak menjadi kesadaran saya seketika dikala itu. Kenyataan ini saya sadari setelah siswa tetap kesulitan memberikan makna terhadap teks yang dibacanya sehingga mereka tetap kesulitan menjawab pertanyaan saat ulangan berlangsung di akhir catur wulan.
Apa usaha saya? Sesering mungkin saya meminta siswa untuk membaca bacaan untuk kemudian saya mengajak mereka memberi makna. Saya memberikan pertanyaan; Siapa yang menjadi tokoh dalam cerita itu? Siapa tokoh baiknya? Siapa tokoh yang tidak baik? Apa yang membuat kita suka pada tokoh baik? dan seterusnya.
Tidak jarang saya memberikan pekerjaan rumah bebas seputar membaca dan menulis ini. Misalnya; Dikte bebas dengan ayah atau ibu 10 baris dengan menulis huruf sambung. Atau; Membaca cerita bebas. Saya melihat dengan cara ini siswa menikmati. Karena empat atau tujuh dari cerita mereka akan sauya bacakan setelah saya mengoreksi dan memberikan ponten.
Inilah kisah saya di kelas satu...
No comments:
Post a Comment