Ahad, 30 Juli 2009, saya berkesempatan untuk takziah di tetangga di kampung, yang kalau diurut-urut sesungguhnya kami masih bersaudara. Tapi ini adalah kesempatan yang luar biasa langka dan berharga yang saya miliki. Dan karenanya, saya hadir lumayan awal sebelum almarhum dimakamkan. Motivasi saya selain takziah adalah bertemu tetangga yang hampir sebagian besarnya sudah tidak saya kenal. Maklum saya meninggalkan desa saya sejak tahun 1984. Namun berkat kakak misan, saya dipandu untuk tebak muka dan tebak nama. Bahkan untuk meringankan dan mempermudah daya ingat saya coba membuat peta rumah yang ada di desa saya itu, dan dimana rumah orang yang ingin saya ingat. Luar biasa menyenangkan. Bertakziah sekaligus berliturahim.
Saya berjumpa dengan hampir seluruh komunitas kampung. Dan untuk menyapa keseluruhannya saya berpindah-pindah tempat duduk dan lokasi ngobrol. (Mohon maaf, apakah ini sesuai dengan tatacara takziah?).
Dan dalam percakapan itu, saya mendapat jastifikasi dari sahabat SMP saya bahwa saya berpikiran seperti cara berpikir orang Islam Fondamentalis. Saya bertanya pada teman saya; Apa yang dimaksud?
Ya karena dalam setiap peristiwa dan fenomena sosial kamu selalu kaitkan dengan agama Gus. Jawabnya.
Saya cukup manggut-manggut. Paham. Bahwa dunia kita masih terbelah menjadi dua bagian besar. Bagian yang satu bernama kehidupan sosial dan bagian yang lain bernama kehidupan ritual keagamaan. Dan saya melihat hal ini sebagai tolak ukur keberhasilan kita bahwa konsep Islam yang holistik, yang melihat tidak ada dualisme atau dikotomi. dalam hidup sosial maupun hidup beragama belum terjadi dimasyarakat. Setidaknya terhadap teman saya ini.
Tetapi karena ini adalah konsep besar, saya cukup melihat hal ini sebagai bagian dari refleksi perjalanan hidup.
Dan dalam percakapan itu, saya mendapat cerita yang lain tentang bagaimana beberapa diantara anak dari para sahabat saya yang mensyukuri hasil kerja keras seharian di sawah ladang dan pekarangan serta hasil cucuran keringat para orangtuanya yang merantau nun jauh di luar negeri dengan cara membelikannya sepeda motor dan HP. Meski motor dan HP tersebut tidak merupakan brand new. Tetapi telah terlanjur menjadi gaya hidup. Yaitu gaya hidup borju yang tidak ada lagi batas kota-desa. Teman yang tinggal di desa tidak mau melihat lagi, (baca: tidak memiliki pembeda) untuk menentukan prioritas hidup. Mereka telah masuk dalam dunia konsumtif. Masa depan adalah hari ini. Dan hari ini adalah bersenang-senang. Tidak memprediksi bagaimana nanti ketika orangtua telah dimakan usia dan tidak produktif lagi.
Kembali, saya cukup melihat hal ini sebagai bagian dari refleksi perjalanan hidup. Dan refleksi perjalanan hidup itu bermuara pada pertanyaan: Inikah hasil pendidikan kita selama ini?
Ya Allah, mudahkanlah perjalanan dan perjuangan kami untuk mengarungi kehidupan. Berikanlah kekuatan pada kami untuk meraih petunjuk-Mu. Amien.
Jakarta, 6 Agustus 2009.
Saya berjumpa dengan hampir seluruh komunitas kampung. Dan untuk menyapa keseluruhannya saya berpindah-pindah tempat duduk dan lokasi ngobrol. (Mohon maaf, apakah ini sesuai dengan tatacara takziah?).
Dan dalam percakapan itu, saya mendapat jastifikasi dari sahabat SMP saya bahwa saya berpikiran seperti cara berpikir orang Islam Fondamentalis. Saya bertanya pada teman saya; Apa yang dimaksud?
Ya karena dalam setiap peristiwa dan fenomena sosial kamu selalu kaitkan dengan agama Gus. Jawabnya.
Saya cukup manggut-manggut. Paham. Bahwa dunia kita masih terbelah menjadi dua bagian besar. Bagian yang satu bernama kehidupan sosial dan bagian yang lain bernama kehidupan ritual keagamaan. Dan saya melihat hal ini sebagai tolak ukur keberhasilan kita bahwa konsep Islam yang holistik, yang melihat tidak ada dualisme atau dikotomi. dalam hidup sosial maupun hidup beragama belum terjadi dimasyarakat. Setidaknya terhadap teman saya ini.
Tetapi karena ini adalah konsep besar, saya cukup melihat hal ini sebagai bagian dari refleksi perjalanan hidup.
Dan dalam percakapan itu, saya mendapat cerita yang lain tentang bagaimana beberapa diantara anak dari para sahabat saya yang mensyukuri hasil kerja keras seharian di sawah ladang dan pekarangan serta hasil cucuran keringat para orangtuanya yang merantau nun jauh di luar negeri dengan cara membelikannya sepeda motor dan HP. Meski motor dan HP tersebut tidak merupakan brand new. Tetapi telah terlanjur menjadi gaya hidup. Yaitu gaya hidup borju yang tidak ada lagi batas kota-desa. Teman yang tinggal di desa tidak mau melihat lagi, (baca: tidak memiliki pembeda) untuk menentukan prioritas hidup. Mereka telah masuk dalam dunia konsumtif. Masa depan adalah hari ini. Dan hari ini adalah bersenang-senang. Tidak memprediksi bagaimana nanti ketika orangtua telah dimakan usia dan tidak produktif lagi.
Kembali, saya cukup melihat hal ini sebagai bagian dari refleksi perjalanan hidup. Dan refleksi perjalanan hidup itu bermuara pada pertanyaan: Inikah hasil pendidikan kita selama ini?
Ya Allah, mudahkanlah perjalanan dan perjuangan kami untuk mengarungi kehidupan. Berikanlah kekuatan pada kami untuk meraih petunjuk-Mu. Amien.
Jakarta, 6 Agustus 2009.
1 comment:
Shabri Hasan: Membaca surat dari Bapak saya mberpendapat bahwa fakta tersebut merupakan warisan sejarah yang saat ini semakin "meliberal". Sesungguhnya pengkotomian agama dan "sekuler" telah ada semenjak zaman Belanda dengan penggolongan Warga Pribumi dengan sebutan kaum abangan dan kaum santri. D era Revolusi muncullah wacana Islam dan Negara merupakan sesuatu yang berpasangan tetapi bukan yang inheren.
Wacana Islam yang hanya sebatas dogma dan untuk dijadikan sebagai sebagai "life style" pun masi diperdebatkan (bagaimana membumikan Islam bukan untuk disakralkan). Bahkan di era reformasi ini- pun pemikiran neo liberalime dan paham "isme" pun sudah pada titik yang kritis sehingga keadaan yang seperti ini merupakan tantangan bagi dunia pendidikan. Diharapkan dari dunia pendidikan harus bisa menghasilkan pemikiran keislaman yang integral dan inkulsiv hanya saja persoaloannya adalah seberapa banyak dunia pendidikan yang bisa diharapkan untuk hal tersebut? kalaupun ada bagaimana daya jangkaunya? apakah medium level atau di bawahnya. Atau mungkin peradaban yang islami itu dimulai dari kelas menengah? Wallahu A'lam
Post a Comment